25 Januari 2008

PETUALANGAN FANTASTIS PUTRI CIMORENE


Judul: Tantangan Naga, Kisah-Kisah Dari Hutan Pesona I
Penulis: Patricia C. Wrede
Penerjemah: Fahmy Yamani
Penerbit: Kaifa, Bandung
Cetakan: I, Agustus 2004
Tebal: 293 halaman (biodata penulis)

Mungkin, kisah dalam novel ini memang konyol; sangat fiktif, penuh fantasi melambung, kemudian diramu begitu saja dengan nuansa humor yang dikontraskan bersama sejumlah aksi menegangkan. Bagaimana tidak, seorang putri cantik yang hidup bergelimang segala fasilitas serba lux dalam istana, justru lebih memilih kabur dari rumah gara-gara persoalan remeh temeh, yakni ketika keinginannya untuk belajar memainkan pedang serta menguasai mantra, ditentang ayah bundanya. Keduanya berargumentasi bahwa hal tersebut tidak layak untuk dilakukan oleh anak perempuan dan menyalahi “kredo” tradisi. Dari sinilah konflik demi konflik dalam cerita ini bermula.

Putri itu bernama Cimorene (tokoh sentral dalam kisah ini), adalah putri bungsu seorang raja yang menguasai wilayah Linderwall. Meski kerajaan tersebut tersohor dengan segala gemah ripah loh jinawi-nya, toh pada kenyataannya hal itu membuat Cimorene merasa terkurung dalam puri emas yang dibangun orangtuanya. Ia tidak sepakat dengan pilihan-pilihan yang diberikan oleh mereka, mulai dari perintah belajar bahasa Latin, memasak, melempar bola hingga urusan privacy berkaitan dengan perjodohan dirinya. Yang lebih menyebalkan lagi di mata sang putri yang tomboy ini adalah saat diketahui ibu perinya “bermain mata” dengan kedua orangtuanya, dan pangeran Therandil, calon tunangannya, tampak susah dibujuk untuk mengakui ketidaksediaan menikahi dirinya.

Saat menghadapi situasi “genting” seperti ini, Cimorene nyaris patah arang. Tapi tokoh yang diciptakan Patricia (baca: pengarang) ini bukanlah sosok yang bodoh dan mudah kalut begitu saja menghadapi persoalan pelik serta rumit. Setelah gagal membujuk Therandil, Cimorene pergi ke taman istana. Gadis itu menggerutu, “Mendingan aku dimakan naga saja.” (hlm. 22). Suara lirih bernada nervous itu didengar oleh seekor kodok yang kemudian memberinya jalan keluar. Cimorene sepakat. Suatu malam sang putri ini dengan cara mengendap keluar dari istana. Mengikuti petunjuk yang pernah diberikan si kodok.

Cimorene sampai di sebuah gubuk reot di suatu pegunungan yang asing. Tak salah lagi, itulah gubuk seperti yang pernah dikatakan kodok dalam kolam istana. Cimorene tidak ragu-ragu menghampirinya. Namun betapa terkejutnya ia setelah tahu bahwa makhluk yang menghuninya adalah beberapa ekor naga. Melihat kedatangan putri yang jelita itu, di antara naga-naga sempat terjadi ribut-ribut kecil. Salah satunya berinisiatif untuk memakan sang putri. Cimorene ngeri. Perdebatan antara Cimorene dengan para naga itu berakhir setelah seekor naga secara tiba-tiba datang. Ia bernama Kazul. Seekor naga betina yang kelak menjadi “orangtua angkat” Cimorene.

Sejak diangkat sebagai putri, semakin tampak kecerdasaan Cimorene di mata naga Kazul. Tidak seperti putri-putri naga yang lain, Cimorene bukanlah tipe gadis pemalas. Ia pandai memasak, khususnya membuat puding ceri, gemar membaca, bersih-bersih, dsb. Ia juga pandai merayu. Lambat laun, kabar tentang Cimorene yang hidup bersama seekor naga tersiar sampai ke kerajaan Linderwall. Sang raja, ayah Cimorene, menjanjikan setengah wilayah kerajaan kepada para kesatria yang mampu membawa sang putri kembali ke istana. Namun tak ada satu pun yang berhasil, termasuk pangeran Therandil sendiri. Semuanya gagal bahkan takjub dengan pendirian Cimorene yang enggan diajak pulang.

Memutuskan hidup bersama naga barangkali bukan ide yang waras di mata semua orang. Namun sikap itu menjadi salah satu kepuasan tersendiri bagi Cimorene. Apalagi di situ akhirnya ia berkenalan dengan seorang penyihir perempuan baik hati bernama Morwen yang tinggal di Hutan Pesona, tiga orang putri tawanan masing-masing; Keredwel (dari kerajaan Raxwel), Hallana (dari kerajaan Ponbauth), dan Alianora (dari Duchy di Toure-on-Marsh), serta seorang pangeran batu. Dua orang terakhir kemudian menjadi sahabat sejati Cimorene. Tapi, realita tidak seluruhnya mewartakan kegembiraan. Di tempat itu, Cimorene tidak hanya dihadapkan dengan persoalan rumit para naga, melainkan dihadapkan pula dengan dunia magis para penyihir jahat yang suka membuat onar dan mengutuk para kesatria menjadi batu, kodok, atau apa saja. Dua penyihir laki-laki yang paling jahat bernama Zemenar (Kepala Perkumpulan Penyihir) dan Antorell (anak Zemenar). Keduanya akhirnya bisa dimusnahkan oleh Cimorene c.s. dengan siraman air sabun dicampur lemon.

Beberapa hari sebelum keduanya dimusnahkan, di jagad para naga tengah terjadi semacam upaya kudeta. Raja yang sah, naga Tokoz, diketahui mati diracun saat menikmati kopi Turki. Siapa aktornya masih menjadi teka-teki. Pemilihan raja baru pun harus sesegera mungkin dilaksanakan. Masing-masing naga yang mencalonkan diri jadi raja secara bergiliran harus mengangkat batu Colin dari Jalur Penyeberangan Ular Berbisik di dalam Hutan Pesona menuju Gunung Menghilang.

Kisah ini berakhir bahagia (happy ending) berupa kemenangan naga Kazul dalam pemilihan raja baru menggantikan raja Tokoz, mengalahkan naga Woraug dan seekor naga lainnya. Dinobatkanlah raja yang sah, naga Kazul (meski ia sendiri bejenis kelamin betina). Belakangan, kecurigaan Cimorene akan adanya persekongkolan antara naga Woraug dengan para penyihir ternyata benar terbukti. Kematian raja Tokoz memang ada sangkut pautnya dengan naga Woraug dan ulah para penyihir.

Kemenangan naga Kazul dalam pemilihan raja baru pada gilirannya menyisakan keprihatinan serta kesedihan tersendiri di benak Cimorene. Belum lagi dua sahabatnya, putri Alianora dan pangeran batu telah memutuskan untuk meninggalkan dirinya demi menempuh hidup baru di daerah yang baru pula. Namun, semua kesedihan itu terobati. Raja Kazul tetap mempersilahkan putrinya, putri Cimorene untuk tinggal bersama.

Banyak teka-teki yang belum terjawab dalam kisah ini, misalnya tentang nasib kerajaan Linderwall, keadaan pangeran Therandill, dsb. Sedang mengenai nasib Cimorene bersama raja naga Kazul, di halaman akhir novel ini disebutkan bahwa kisah ini masih berlanjut dalam novel karangan Patricia yang lain.

Meski demikian, inilah dunia cerita, dunia rekaan semata. Dunia yang diciptakan dari kata-kata dan imajinasi kreatif pengarang. Fantasi yang dibangun oleh Patricia memang terasa berlebihan bagi orang sedewasa dia. Namun, justru di situlah letak kekuatan novel ini sesungguhnya. Sisi lain kelebihan novel ini terletak pada pesan-pesan moral yang disampaikan. Bagi pembaca yang menggemari cerita fantasi semacam Harry Potter, putri Cinderella atau yang sejenis, kisah ini pasti tak kalah menarik dan menjadi tantangan yang sayang untuk dilewatkan. Setidaknya, saat Anda menikmati waktu senggang dengan makan kacang, novel ini cocok untuk dijadikan sebagai kawan.

3 komentar:

dedek mengatakan...

Duhh... ceritanya bagus loooo tapi endinggnya agak tidak memuaskan

Unknown mengatakan...

Aku suka ceritanya, soalnya aq udah baca novel yang kedua.....
Tapi sayang banget buat novel yang ke 3&4 aku belum nemuin yang udah diterjemahkan

Unknown mengatakan...

Aku suka ceritanya, soalnya aq udah baca novel yang kedua.....
Tapi sayang banget buat novel yang ke 3&4 aku belum nemuin yang udah diterjemahkan