25 Januari 2008

ZIARAH SPIRITUAL ARMSTRONG


Judul Buku: Menembus Langit, Memoar Spiritual Seorang Muslimah Australia
Penulis: Amatullah Armstrong
Penerjemah: Miranda Risang Ayu, dkk.
Penerbit: Arasy, Bandung
CetakanI : Agustus, 2005
Tebal: 325 halaman

Pengalaman seseorang dalam mengarungi hidup adalah harta termahal yang paling dibanggakan. Semakin banyak pengalaman didapat, semakin kaya wawasan serta pelajaran dimilikinya. Pada puncaknya, peluang merengkuh kearifan hidup dengan sendirinya terbuka lebar.

Tapi, dari sekian banyak pengalaman hidup, rupanya pengalaman spiritual menjadi salah satu pengalaman menarik yang tak bisa diabaikan begitu saja. Dengan lain kata, pengalaman spiritual selalu menyisakan impresi mendalam pada setiap individu yang mengalami.

Kenyataan itu tampaknya betul-betul mengilhami Amatullah Armstrong untuk menulis memoar ini. Di sini, penulis mengumpulkan keping-keping kenangan setelah berpuluh tahun melakukan ziarah spiritual mencari kebenaran sejati di jalan tasawuf, kemudian menarasikannya kembali dengan bahasa lugas.

Dengan menyisipkan syair para penyair sufi dan teori para ahli yang sudah diakui, seperti; Sayyed Hossein Nasser, Idris Syah, Annemarie Schimmel, William C. Chittik, dll., Armstrong tak hanya mereproduksi gagasan-gagasan mereka melainkan mencoba merekonstruksi syair-syair sufisme atau gagasan-gagasan itu pada pengalaman pribadinya.

Amatullah Armstrong—sebelum masuk Islam—adalah perempuan yang lahir di Australia pada 1948 dan dibesarkan dalam lingkungan Kristen. Ia lahir dengan nama kecil Jyly. Secara ekonomi, kedua orangtuanya termasuk dalam golongan kelas menengah di negeri Kanguru tersebut. Meski dibesarkan dalam lingkungan non-muslim dengan pendidikan formal agama Kristen yang biasa saja, secara tak langsung Armstrong kecil telah mengenal tasawuf sejak kecil.

Hal itu bermula dari lingkungan keluarganya sendiri. Ayahnya adalah seorang pengagum karya-karya sastra, khususnya puisi. Bahkan salah satu penyair yang paling dikaguminya adalah Umar Khayyam. Laki-laki itu mengajarkan banyak hal tentang kehidupan serta karya para penyair tersebut hingga tak mustahil kelak di saat Armstrong menginjak dewasa, pelajaran itu menjadi penentu jalan hidupnya.

Selanjutnya, ada sebuah peristiwa penting yang terjadi pada 1956 saat Armstrong berusia delapan tahun. Suatu hari, ketika Armstrong masih tercatat sebagai siswi SD Connels Point yang terletak di bagian selatan Sydney, guru sekolahnya membacakan sebuah sajak yang berisi kisah Abou ben Adhem (baca: Ibrahim bin Adham) untuk para murid kelas itu.

Peristiwa lain yang tak kalah menerakan impresi mendalam dan senantiasa terpenjara dalam memori Armstrong adalah saat dirinya menginjak usia enam belas tahun. Suatu hari, di usianya yang tergolong belia itu di sebuah bioskop, Armstrong dan kedua orangtuanya menyaksikan pemutaran film berjdul Lawrence of Arabia. Dari sinilah persentuhannya dengan dunia Arab dimulai.

Tapi, layaknya remaja sebaya lainnya—bahkan saat dirinya masuk kuliah jurusan seni di East Sydney Technical College—Armstrong tak banyak mengabaikan peristiwa yang telah menyentuh sisi terdalam hidupnya itu kecuali sedikit sekali yang ia lakukan untuk merespons pengamatannya. Kehidupan sehari-harinya bahkan mengalir begitu saja bersama trend yang sedang merebak; mengikuti les balet kemudian menjadi beatlemania (penggila band pop The Beatles asal Inggris). Sayang, semua itu bersifat temporer. Ketika di satu masa suatu peristiwa fenomenal berlangsung, peristiwa tersebut belum tentu bertahan pada masa yang lain.

Begitu pula sejak ia menikah dengan seorang seniman, praktis kehidupannya tak jauh dari urusan seni. Berbagai eksperimentasi karya ia lakukan bersama sang suami. Ia telah melalang buana dari Australia hingga daratan Eropa dan Afrika Utara. Pada masa-masa inilah kenangan pertamanya berjumpa dengan tasawuf dan negeri Arab dari film Lawrence of Arabia sedikit demi sedikit bangkit dari "kuburnya".

Bagaimanapun, Armstrong ternyata menyadari kekeringan jiwanya saat itu. Apa yang ia lakukan ternyata tak mampu memberi ketenangan bagi jiwanya. Selama hidup berpindah dari satu negara ke negara lain, Afrika Utara lah yang paling berkesan. Di negeri ini, tepatnya di wilayah Tunisia, Armstrong berkenalan dengan seorang muslim setempat. Tak pelak, dari perkenalan itu ia mulai belajar banyak hal tentang Islam secara mendalam.

Sekembalinya ke Autralia, Armstrong dan suami tinggal di Tasmania. Di tempat baru itu rasa penasarannya akan Islam ibarat air deras yang sulit dibendung. "Hidup selama 33 tahun di negeri Barat dan jauh dari kekayaan dan keindahan Islam," tuturnya, "bukan sesuatu yang tidak lazim. Ketika Islam memasuki hidupku, aku berjuang di antara standar hidup yang selalu berubah dari gaya hidup Australia tempat aku dilahirkan, dan kedalaman tradisi Islam yang menarik hatiku. Pertentangan batin itu berlangsung selama dua tahun" (hlm. 27)

Akhirnya, pada suatu hari dengan segenap tekad bulat Armstrong mendeklarasikan keislamannya di Islamic Centre di Fitzroy, Sandy Bay, Hobart. Beberapa waktu kemudian sang suami pun mengikuti jalan Amstrong, menjadi seorang muslim. Tapi, perjalanan spiritual Armstrong dengan segala suka-dukanya tak behenti sampai di sini.

Dari berbagai informasi yang ia baca baik dari buku maupun diskusi dengan sesama muslim, Armstrong lebih cenderung tertarik dengan konsep tasawuf. Tentu hal ini sangat beralasan jika dilacak dari masa kecilnya; betapa ayahnya yang pengagum karya-karya puisi, serta sebuah puisi sufi yang pernah dibacakan gurunya semasa SD telah memberi kesan signifikan.

Tepat di usia empat puluh satu tahun (tahun 1990), di hadapan seorang mursyid—guru spiritual—di Australia, Armstrong ditahbiskan dalam sebuah tarekat sufi al-Burhaniyyah al-Dasuqiyyah al-Syadzaliyyah yang didirikan oleh Syaikh Abu Hasan al-Syadzili. Namun, ziarah spiritualnya dalam tarekat itu rupanya tak semudah dibayangkan. Banyak tradisi yang terasa berat bagi muallaf semacam Armstrong. Harus meninggalkan kecintaan yang berlebihan pada duniawi, misalnya, adalah salah satu ciri utama ajaran tasawuf. Alunan musik Beethoven yang jadi musik favoritnya harus rela ditukar dengan alunan wirid dan dzikir. "Rute dari puisi Abou Adhem hingga tarekat betapa panjang dan berliku," demikian tulis Armstrong dan tampaknya menjadi sebuah pengakuan jujur darinya.

Meski demikian, kegigihan Armstrong mencari kebenaran di jalan tarekat ini memang layak diacungi jempol dengan asumsi bahwa ia adalah seorang perempuan "Barat" yang lahir dan hidup di lingkungan non-muslim. Tak tanggung-tanggung, Bernard Bethell dalam pengantar memoar ini pun turut memuji. "Inilah kisah sejati yang menggugah tentang seorang perempuan asli Australia dalam mencari kebenaran. Semoga dapat menjadi inspirasi, baik bagi orang muslim maupun non-muslim," tulisnya.

Tidak ada komentar: