08 Februari 2008

DUNIA MORAL VICTOR HUGO


Judul : Les Misérables
Penulis : Victor Hugo
Penerjemah : Anton Kurnia
Penerbit : Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan I : Februari, 2006
Tebal : 689 halaman

Salah satu ciri khas sastra klasik—tak terkecuali sastra Eropa—adalah selalu ditandai dengan menonjolkan semangat heroisme serta pesan moral yang disampaikan secara filosofis tanpa mengabaikan kekentalan unsur romantisme dan spiritualitas. Namun, di balik itu sebenarnya sastra Eropa tempo dulu bisa dibaca pula sebagai sebuah kritik serta pemberontakan atas penyimpangan praktik sosial, politik, hukum, bahkan sampai pada wilayah keberagamaan. Hal ini juga bisa kita baca dalam novel berjudul Les Misérables karya penulis puisi, drama, novelis, esais, moralis, sekaligus tokoh paling penting dalam tradisi aliran Romantisme asal Prancis, Victor-Marie Hugo (1802 – 1885).

Novel bergaya epik, melodrama, otobiografi, dan sejarah ini seakan menyampaikan premis bahwa setiap orang—dalam skala makro berarti kehidupan—memiliki peluang untuk berubah, merangkak pada taraf yang lebih baik dan sempurna. Di sisi lain, novel yang sudah difilmkan dan dibintangi Liam Neeson (Jean Valjean), Uma Thurman (Fantine), serta sederet aktor maupun aktris ternama ini juga terasa menggigit karena kerangka historis, filosofi hidup, bahkan teori politik yang digarap dengan cermat.

Secara khusus, novel ini memotret tetek bengek kehidupan masyarakat Prancis abad 18, tepatnya antara tahun 1789–1832. Di dalamnya, Hugo menampilkan simalakama dunia orang-orang terbuang, termasuk kehidupan seorang tokoh protagonis; Jean Valjean. Bagaimanapun, peperangan dan rasa ketertindasan seringkali diamini sebagai ibu kandung kemelaratan, dekadensi moral, serta—barangkali—suburnya paham imperialisme.

Di tangan Hugo, pembaca akan diperkenalkan dengan sosok utama Jean Valjean; seorang narapidana yang dihukum penjara 19 tahun lamanya gara-gara mencuri sepotong roti dan beberapa tindakan melawan hukum lainnya. Ia dipekerjakan di sebuah kapal kerja paksa yang digambarkan sebagai satu-satunya 'neraka' di dunia ini. Sejak kecil ia telah menghabiskan masa hidupnya dalam dunia yang kejam. Setelah ia melarikan diri dari penjara, ia bersembunyi dari satu tempat ke tempat yang lain.

Namun, ada peristiwa yang cukup menggetarkan pembaca di tengah pelarian dan persembunyiannya itu. Sebuah titik balik atau epifani dalam hidupnya ditentukan oleh seorang uskup. Peristiwa seperti yang dialami Jean Valjean memang sangat mungkin terjadi pada setiap orang. Epifani seolah menjelma sebagai kekuatan sihir yang mampu mengubah perjalanan hidup seseorang seratus delapan puluh derajat.

Jean Valjean mengubah namanya menjadi Monsieur Madeleine dan karena kebaikannya yang "seperti malaikat", ia diangkat menjadi walikota di wilayah Montreuil-sur-mer. Dari kisah itu, Hugo seolah hendak mengatakan kepada pembaca bahwa kehadiran pemimpin seperti inilah yang idealnya dibutuhkan masyarakat. Hugo juga mengontraskan realita ini dengan menghadirkan tokoh polisi, Javert, yang terlalu kaku dalam menjalankan tugasnya.

Tokoh lain yang penting untuk dikenalkan adalah perempuan bernama Fantine dan putrinya, Cosette. Perempuan yang hidup di bawah payung kemiskinan ini nekat menitipkan putrinya yang baru menginjak usia tiga tahun pada seorang pemilik penginapan yang rakus di daerah Montfermeil bernama Thenardier. Keputusan itu terpaksa diambil sebab Fantine menyadari ia harus mencari nafkah untuk mempertahankan hidupnya dan Cosette, bahkan dengan cara yang sangat memilukan sekali; menjual rambut, gigi, hingga bekerja pada sebuah warung remang-remang.

Kejujuran serta kepolosan Fantine—ini yang membuat kita larut dalam emosi—ternyata ditelikung dari belakang oleh Thenardier. Laki-laki itu bekerja sama dengan isterinya untuk memeras Fantine. Pada kenyataannya, Cosette yang dititipkan kepada keluarga Thenardier justru dijadikan 'budak' hingga digambarkan Cosette tampak kurus dan acak-acakan.

Di bagian lain, pembaca juga bisa menyimak perjalanan hidup Marius Pontmercy. Ia adalah putra seorang baron bernama Pontmercy yang sejak kecil hidup di bawah asuhan sang kakek yang berwatak egois, Monsieur Gillenormand. Akan tetapi, saat usianya menginjak remaja, Marius dihadapkan pada dua pilihan; tinggal bersama kakeknya di sangkar emas atau memberontak sama sekali. Akhirnya, jatuhlah Marius pada pilihan kedua. Di luar, ia pun bergabung dengan kelompok ABC; sebuah komunitas pendukung Revolusi Prancis yang digawangi beberapa anak muda.

Peristiwa yang tak kalah serunya adalah kisah cinta unik antara Marius dengan Cosette yang berawal dari pertemuan tak sengaja. Dua anak manusia ini memiliki karakter yang berbeda; Marius digambarkan sebagai laki-laki yang kurang tegas dan gampang terhanyut dalam khayalannya sendiri. Sementara, Cosette adalah gadis remaja yang berkarakter sebaliknya. Sederhananya, ia adalah gadis idaman yang sempurna.

Secara keseluruhan, tampaknya Hugo dalam novel ini sengaja membuat jalinan peristiwa yang—bagi kita—menyerupai sebuah kebetulan yang disengaja. Sejak peristiwa awal hingga akhir, ada indikasi ke arah sana. Ketika pembaca dengan setia mengikuti jalur cerita, peristiwa seperti pertemuan Jean Valjean dengan Cosette, pertemuan Marius dengan tetangga sebelahnya—yang diketahui kemudian bernama Thenardier, atau puncaknya kisah cinta Marius dengan Cosette, semuanya seolah sengaja diarahkan pada satu muara; bertemunya orang-orang yang bernasib sama.

Namun, klimaks dari cerita ini sesungguhnya ditentukan pada pertemuan Jean Vajean, Marius, dan Javert dalam sebuah pertempuran pihak yang pro-Republik dengan pasukan kaisar. Sementara anti-klimaksnya bisa disimak dalam kisah perkawinan antara Marius dengan Cosette, dimana Javert akhirnya mati bunuh diri.

1 komentar:

stenote mengatakan...

Artikel yang bagus... semoga terus berkembang... Saya ingin berbagi wawancara dengan Victor Hugo (imajiner) di https://stenote-berkata.blogspot.com/2018/07/wawancara-dengan-victor_87.html