08 Februari 2008

MEMBACA IMAJI LIAR GAARDER


Judul : Putri Sirkus dan Lelaki Penjual Dongeng
Judul Asli : The Ringmaster’s Daughter
Penulis : Jostein Gaarder
Penerjemah : A. Rahartati Bambang
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan I : Februari, 2006
Tebal : 394 halaman

Menyusul novel Gadis Jeruk, novel teranyar Jostein Gaarder yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh penerbit Mizan ini tampaknya tak perlu dianggap terlalu mengejutkan bagi para penggemarnya di tanah air. Sebab, seperti dalam karya-karyanya yang lain, Gaarder tampak masih setia mengumbar imajinya disertai aroma filsafat yang sangat menggoda.

Demikian halnya dengan novel Putri Sirkus dan Lelaki Penjual Dongeng ini. Meski terkesan nakal dalam mengolah alur cerita, terlihat Gaarder bersikap hati-hati. Dengan kata lain, sebenarnya Gaarder masih belum dapat dikatakan sepenuhnya “ugal-ugalan”. Sebaliknya, novel ini mengajak pembaca melihat bagaimana Gaarder kembali “beraksi” mengaduk-aduk fakta dan fiksi. Ia seperti mempersoalkan dua kutub berbeda yang secara aplikatif memiliki wilayah “ontologis”-nya sendiri.

Novel ini mengisahkan seorang tokoh utama bernama Petter yang dijuluki sebagai “Si Laba-Laba”. Petter lahir dan besar dari sebuah keluarga yang tercerai berai. Namun, masa hidupnya bersama orangtua sebenarnya lebih banyak dihabiskan bersama ibu kandungnya sendiri, sebelum sang ibu meninggal pada tahun 1970 ketika Petter berusia enam tahun.

Petter kecil memang anak yang aneh. Ia terbiasa bermain dalam “dunia”-nya sendiri. Ia hidup dari sebuah negeri fantasi yang dibangunnya sendiri. Sebaliknya, dalam berinteraksi dengan orang-orang di dunia nyata, tepatnya ketika ia bergaul dengan teman-teman sebaya ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, Petter justru menutup diri. Pengalaman inilah yang kemudian menentukan langkahnya ketika ia beranjak dewasa.

Kelebihan yang dimiliki Petter sebenarnya adalah kepandaiannya membuat cerita fiksi. Ketika ia dewasa, pengalamannya menjelajahi dunia fiktif ternyata masih terekam kuat dalam memorinya. Konflik yang muncul kemudian adalah pertanyaan Petter yang diajukan kepada dirinya sendiri; apakah mungkin manusia mampu bertahan hidup dari dunia ide, sementara kebutuhan perut yang jelas-jelas riil tentu tak kenyang disuguhi makanan yang abstrak?

Secara hati-hati dan cermat, pertanyaan ini terjawab ketika Petter kemudian memutuskan untuk menjual ide-ide briliannya tersebut dalam bentuk sinopsis cerita. Awalnya, ia hanya iseng menjual karya-karya mentahnya itu untuk memenuhi kebutuhan bersenang-senang; minum-minuman keras dan mengencani setiap gadis yang menurutnya “perlu untuk dikencani”.

Novel ini mempersoalkan, tegasnya mempertanyakan, bagaimana manusia harus survive demi kelangsungan hidupnya sendiri. Terkadang, manusia memang terlalu naif untuk hal ini. Barangkali, bagi kebanyakan orang menjual ide-ide cemerlang adalah hal paling gila. Namun, bagi Petter hal itu cukup wajar. Ia butuh hidup dan untuk itu menjual ide adalah pekerjaan yang paling bisa dilakukan.

Akan tetapi, pada kenyataannya tindakan Petter ternyata dianggap merusak iklim dunia sastra, khususnya sastra Norwegia, tempat dimana Petter tinggal dan berpetualang. Namun sebelum itu, ia sempat pula mendirikan sebuah klinik “bawah tanah” yang diberinya nama Writer’s Aid. Lewat klinik inilah Petter mulai bersosialisasi dengan para penulis. Mulai dari penulis yang sudah pernah menelurkan beberapa karya sastra sampai para penulis pemula.

Namun seperti kata pepatah; sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga. Begitu juga yang dialami Petter. Keberhasilannya membesarkan nama para novelis ternyata berimbas negatif. Hal ini tercium ketika ia menghadiri bursa buku di Bologna. Seorang rekannya secara terang-terangan memberi kabar bahwa koran Corriere Della Sera menengarai kesuksesan beberapa novelis pada saat itu didukung oleh “Si Laba-Laba” yang bermain di balik layar.

Jika dicermati, sebenarnya ini adalah salah satu persoalan yang diusung novel ini. Persoalan lain yang sengaja dibidik novel ini tentunya adalah masalah budaya. Setereotip seniman atau sastrawan haruslah bertampang dan berperilaku urakan memang banyak disinggung dalam novel ini. Tegasnya, novel ini juga menyindir gerakan seniman yang anti kemapanan.

Secara ringkas, Gaarder mendeskripsikan karakter tokoh utamanya sebagai seorang yang sangat membenci ketenaran, suka minum-minuman keras, dan bercinta. Tiga sikap ini sudah mendarah daging dalam tubuh Petter. Bahkan dari hasil hubungan gelapnya dengan seorang perempuan bernama Maria, Petter sebenarnya memiliki “anak haram” yang pada akhir cerita diketahui bernama Beate. Lebih dari itu, pertemuan Petter dengan Beate ternyata menyingkap masa lalunya sendiri.

Kendati novel ini menuai kritik yang tajam dalam ulasan Bagja Hidayat (Koran Tempo, 30/04/2006), tak urung karya ini masih terasa manis untuk dinikmati. Kokohnya bangunan literatur Gaarder dalam bidang filsafat tampak pula masih sulit tergoyahkan. Pengarang yang juga giat mengkampanyekan pelestarian lingkungan melalui Sofie Foundation ini memang unik dengan imaji liarnya yang tak berbatas, seperti dalam dunia dongeng ia hidup.

3 komentar:

just Endang mengatakan...

udah baca The kite Runner?

Anonim mengatakan...

See Here or Here

Fayza Hiqmah mengatakan...

I love this book... sayang aku ga punya.. :'(