08 Februari 2008

PERGOLAKAN CINTA ANAK MANUSIA


Judul Novel:Norwegian Wood
Penulis:Haruki Murakami
Penerjemah:Jonjon Johana
Penerbit:KPG, Jakarta
Cetakan I:Juli, 2005
Tebal:iv + 550 halaman


………….
And when I awoke I was alone
This bird had flown
So I lit a fire
Isn't it good Norwegian wood?
--Norwegian Wood; The Beatles

Bait terakhir lirik Norwegian Wood di atas mengilustrasikan kekecewaan seorang laki-laki yang terbuai pada mimpi indah cinta, namun di saat dirinya terjaga mimpi itu pun sirna. Benarkah cinta-meski hanya dalam mimpi-mampu membuat seseorang merasa bahagia tak terperi, dan sebaliknya cinta juga bisa menorehkan luka yang teramat sakit? Apa sebenarnya cinta itu?

Sejak jaman baheula hingga sekarang telah banyak definisi cinta diungkapkan dengan bermacam ekspresi. Mulai dari lagu yang digubah, kata yang dirangkai menjadi bait puisi atau prosa, atau kanvas yang dilukis; semua dilakukan demi mencapai definisi cinta. Sayang, sampai detik ini definisi cinta yang sesungguhnya masih saja tampak nisbi.

Namun, bukan berarti cinta adalah suatu keadaan psikis yang sama sekali tidak dapat dicari rumusannya. Dengan pendekatan ilmiah seperti ilmu psikologi, misalnya, ikhtiar pendefinisian cinta dapat sedikit terbantu. Para pakar psikologi semacam Eric Fromm atau Abraham Maslow pun banyak menyinggung masalah cinta dalam karya-karya mereka.

Seorang psikolog lainnya, Robert Sternberg, pernah berusaha mengurai makna cinta dalam konteks hubungan antara dua manusia dengan mengenalkan konsepnya tentang "segitiga cinta." Menurut Sternberg, cinta harus mengandung tiga unsur primer: yakni, menyatunya suasana intim, gairah, serta komitmen.

Masih menurut Sternberg, cinta adalah sebuah cerita yang ditulis oleh setiap orang. Cerita itu dapat memproyeksikan kepribadian, minat atau perasaan seseorang ketika hendak menjalin suatu hubungan. Setiap unsur itu pada setiap orang berbeda kadarnya. Sedang cinta yang ideal adalah apabila ketiga unsur itu menyatu dalam proporsi yang tepat pada satu waktu tertentu.

Untuk mewujudkan cinta yang semacam ini tampaknya tidaklah mudah. Banyak tebaran cinta di sekitar kita yang umumnya hanya dilandaskan pada suasana intim dan gairah. Akibatnya tak jarang terjadi pereduksian makna bahwa cinta hanyalah sekadar birahi belaka; cinta pada akhirnya hanya mandeg pada idiom senggama dan melestarikan keturunan; cinta hanyalah "sapi perah" manusia.

Dalam sebuah karya sastra, cinta telah menjadi salah satu tema yang banyak menggoda minat para kreator atau pengarang. Di dalamnya cinta menjadi tema yang tak hanya memikat tapi juga menantang. Dengan kepiawaian pengarang mentransformasikan peristiwa faktual menjadi peristiwa fiksional, alhasil imajinasi pembaca di alam bawah sadar pun serta-merta diajak menziarahi ruang-ruang reflektif, bahwa memahami cinta memang bisa ditempuh dengan cara apa saja. Ada cinta yang ternoda oleh darah. Ada pula cinta yang basah berlumuran madu.

Demikian halnya dengan novel Norwegian Wood ini. Haruki Murakami sebagai pengarang mencoba mengeksplorasi cinta melalui perspektif budaya remaja negeri Sakura. Bagaimanapun, problematika remaja selalu menarik untuk dibicarakan; pencarian jati diri dan pemberontakan terhadap kredo-kredo kultur yang sudah mapan.

Haruki Murakami dilahirkan di sebuah kota kecil Kyoto pada 1949 dan besar di Kobe. Bisa dikatakan ia adalah novelis terkemuka Jepang abad-20 yang amat produktif berkarya. Beberapa karyanya yang sudah dipublikasikan antara lain: Hear the Wind Sing (1979), A Wild Sheep Chase (1982), Hard-Boiled Wonderland and the End of the World (1985), Norwegian Wood (1987) Dance, Dance, Dance (1988), The Wind-up Bird Chronicle (1995), The Sputnik Sweetheart (1999). Murakami juga sempat menulis beberapa kumpulan cerita pendek seperti The Elephant Vanishes (1993) dan After the Quake (2002), keduanya dalam tahap transliterasi.

Maka, tak mengherankan jika kemudian Murakami banyak memperoleh penghargaan seperti Noma Literary Award, Tanizaki Prize, dan Yomiuri Literary Award, termasuk Gunzo Prize untuk kategori penulis baru. Tak tanggung-tanggung, demi panggilan hatinya untuk konsisten di dunia kepengarangan, ia memutuskan menjual kafe jazz miliknya dan bertekad hidup sepenuhnya dari menulis.

Dalam novel ini pengarang menciptakan tokoh-tokoh rekaan; Wanatanabe Toru, Naoko, Midori, Nagasawa, dll. Masing-masing pribadi rekaan tersebut memiliki karakter yang kuat serta pandangan hidup yang unik. Keterlibatan emosi pembaca, mau tak mau menjadi salah satu tujuan utama yang hendak dicapai novel bergaya bahasa realisme-romantik ini.

Rampung ditulis pada tahun 1987, novel yang berjudul asli Noruwei no Mori ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Alfred Birnbaum pada tahun 1989. Selanjutnya, novel ini telah diterjemahkan dalam beberapa bahasa dunia; seperti Perancis, Jerman, Amerika, termasuk Indonesia. Kabarnya, dalam satu tahun karya ini telah terjual sebanyak dua puluh tujuh juta eksemplar. Fakta inilah yang mendongkrak pamor Haruki Murakami menjadi salah satu penulis fiksi papan atas, khususnya di Jepang.

Dalam novel ini dikisahkan bahwa tokoh utama, Watanabe Toru, dalam perjalanan terbangnya suatu hari menuju Hamburg mendengar sayup-sayup instrumen musik Norwegian Wood yang dipopulerkan oleh band papan atas asal Inggris, The Beatles. Seketika lagu itu mementikkan api kenangan masa lalunya yang meliputi cinta dan silang sengkarut permasalahan remaja dalam lingkup sosial budaya di negeri sakura akhir tahun 60-an.

Saat itu, Toru yang masih berusia delapan belas tahun tercatat sebagai mahasiswa jurusan seni di salah satu universitas terkemuka di Tokyo. Masa-masa indah saat remaja baginya menjadi masa-masa yang paling mengesankan. Tinggal di asrama, diskusi tentang banyak hal, sampai pada perenungan akan makna hidup.

Layaknya remaja di mana pun, kematangan berfikir memang menjadi salah satu sorotan yang tak pernah surut. Masa remaja sebagai masa transisi meniscayakan beberapa pilihan yang sangat menentukan bagi perjalanan hidup seseorang untuk masa yang akan datang. Begitu pula yang dialami Toru di saat dirinya dihadapkan pada pilihan antara Naoko dan Midori, dua gadis yang selama kuliahnya dianggap mewakili masa silam dan masa depan.

Naoko, gadis yang usianya lebih tua satu tahun di atas usia Toru adalah mantan kekasih mendiang sahabatnya, Kizuki. Mereka-Toru, Kizuki, dan Naoko-semenjak SMU bersahabat secara akrab satu sama lain. Namun, tiba-tiba saja takdir cinta Naoko berujung memilukan; suatu hari Kizuki mati bunuh diri. Tak ayal lagi, peristiwa tersebut membuat perasaan Naoko terpukul.

Meski pada akhirnya Naoko dan Toru pacaran, namun benih-benih duka yang terserak dalam perasaan Naoko lama-lama terkumpul dan meledak bagai bom waktu; Naoko harus masuk rumah sakit rehabilitasi. Di sisi lain, kepergian Naoko ke rumah sakit tersebut membuat batin Toru serasa sunyi, bahkan kesunyian yang sulit untuk dieja dengan kata-kata sekali pun.

Beberapa aktifitas seperti kerja paruh waktu sebagai karyawan toko memang sengaja dilakoni Toru tak hanya untuk mencari tambahan biaya hidup, melainkan untuk membunuh rasa sunyi yang terus mendera. Konflik menjadi cukup dilematis di sini. Di satu sisi, Toru adalah manusia biasa yang setiap saat merindukan hadirnya orang yang sangat disayangi. Namun, di sisi lain ia harus menerima kenyataan bahwa dirinya memang harus menjalani hidup tanpa kekasih, setidaknya untuk sementara waktu.

Pada segmen ini, kedewasaan Toru memang benar-benar diuji. Sayang ia kalah. Pergaulan dengan kawan satu asramanya, Nagasawa, malah menjerumuskan Toru pada dunia hitam. Seks bebas dan minuman keras dalam novel ini menyimbolkan ketidakmatangan psikologi Toru.

Namun, di paruh akhir cerita pengarang tampaknya mengembalikan watak tokoh utama. Toru "dibuat" insaf atas apa yang dilakukannya selama ini. Bahkan, pertemuan kembali Toru dan Naoko jelas menaburkan kembang kegembiraan yang tak terungkapkan. Sayang, kebahagiaan itu tak berlangsung lama sebab direnggut oleh kematian Naoko. Toru menatap kesunyian untuk kedua kalinya.

Teknik penceritaan yang digunakan pengarang sebenarnya cukup simpel dan mudah diprediksi. Jalinan kisahnya cenderung mengalir begitu saja ditambah pengolahan imaji yang cukup apik. Dapatlah dikatakan novel ini berhasil mempengaruhi emosi pembaca dengan pernik-pernik peristiwa di dalamnya yang setiap saat mungkin hadir di dalam diri maupun sekitar kita. Peristiwa-peristiwa semacam ini di satu sisi dapat memberi efek reflektif pada seseorang tentang bagaimana sebaiknya ia bersikap dan bertindak dalam menempuh kehidupannya sendiri, termasuk dalam soal cinta.

Sisi lain yang menjadikan novel ini layak dipuji adalah sikap pengarang dengan kehalusan bertutur mengkritik kondisi sosio-kultur masyarakat Jepang (bahkan masyarakat Timur lainnya) yang sudah mulai tergusur oleh Westernisasi. Seks bebas, minuman keras, dan perilaku neurotik masyarakat Timur adalah kenyataan yang tak bisa dipungkiri menggerogoti lifestyle kita.

Tidak ada komentar: