25 Januari 2008

ZIARAH SPIRITUAL ARMSTRONG


Judul Buku: Menembus Langit, Memoar Spiritual Seorang Muslimah Australia
Penulis: Amatullah Armstrong
Penerjemah: Miranda Risang Ayu, dkk.
Penerbit: Arasy, Bandung
CetakanI : Agustus, 2005
Tebal: 325 halaman

Pengalaman seseorang dalam mengarungi hidup adalah harta termahal yang paling dibanggakan. Semakin banyak pengalaman didapat, semakin kaya wawasan serta pelajaran dimilikinya. Pada puncaknya, peluang merengkuh kearifan hidup dengan sendirinya terbuka lebar.

Tapi, dari sekian banyak pengalaman hidup, rupanya pengalaman spiritual menjadi salah satu pengalaman menarik yang tak bisa diabaikan begitu saja. Dengan lain kata, pengalaman spiritual selalu menyisakan impresi mendalam pada setiap individu yang mengalami.

Kenyataan itu tampaknya betul-betul mengilhami Amatullah Armstrong untuk menulis memoar ini. Di sini, penulis mengumpulkan keping-keping kenangan setelah berpuluh tahun melakukan ziarah spiritual mencari kebenaran sejati di jalan tasawuf, kemudian menarasikannya kembali dengan bahasa lugas.

Dengan menyisipkan syair para penyair sufi dan teori para ahli yang sudah diakui, seperti; Sayyed Hossein Nasser, Idris Syah, Annemarie Schimmel, William C. Chittik, dll., Armstrong tak hanya mereproduksi gagasan-gagasan mereka melainkan mencoba merekonstruksi syair-syair sufisme atau gagasan-gagasan itu pada pengalaman pribadinya.

Amatullah Armstrong—sebelum masuk Islam—adalah perempuan yang lahir di Australia pada 1948 dan dibesarkan dalam lingkungan Kristen. Ia lahir dengan nama kecil Jyly. Secara ekonomi, kedua orangtuanya termasuk dalam golongan kelas menengah di negeri Kanguru tersebut. Meski dibesarkan dalam lingkungan non-muslim dengan pendidikan formal agama Kristen yang biasa saja, secara tak langsung Armstrong kecil telah mengenal tasawuf sejak kecil.

Hal itu bermula dari lingkungan keluarganya sendiri. Ayahnya adalah seorang pengagum karya-karya sastra, khususnya puisi. Bahkan salah satu penyair yang paling dikaguminya adalah Umar Khayyam. Laki-laki itu mengajarkan banyak hal tentang kehidupan serta karya para penyair tersebut hingga tak mustahil kelak di saat Armstrong menginjak dewasa, pelajaran itu menjadi penentu jalan hidupnya.

Selanjutnya, ada sebuah peristiwa penting yang terjadi pada 1956 saat Armstrong berusia delapan tahun. Suatu hari, ketika Armstrong masih tercatat sebagai siswi SD Connels Point yang terletak di bagian selatan Sydney, guru sekolahnya membacakan sebuah sajak yang berisi kisah Abou ben Adhem (baca: Ibrahim bin Adham) untuk para murid kelas itu.

Peristiwa lain yang tak kalah menerakan impresi mendalam dan senantiasa terpenjara dalam memori Armstrong adalah saat dirinya menginjak usia enam belas tahun. Suatu hari, di usianya yang tergolong belia itu di sebuah bioskop, Armstrong dan kedua orangtuanya menyaksikan pemutaran film berjdul Lawrence of Arabia. Dari sinilah persentuhannya dengan dunia Arab dimulai.

Tapi, layaknya remaja sebaya lainnya—bahkan saat dirinya masuk kuliah jurusan seni di East Sydney Technical College—Armstrong tak banyak mengabaikan peristiwa yang telah menyentuh sisi terdalam hidupnya itu kecuali sedikit sekali yang ia lakukan untuk merespons pengamatannya. Kehidupan sehari-harinya bahkan mengalir begitu saja bersama trend yang sedang merebak; mengikuti les balet kemudian menjadi beatlemania (penggila band pop The Beatles asal Inggris). Sayang, semua itu bersifat temporer. Ketika di satu masa suatu peristiwa fenomenal berlangsung, peristiwa tersebut belum tentu bertahan pada masa yang lain.

Begitu pula sejak ia menikah dengan seorang seniman, praktis kehidupannya tak jauh dari urusan seni. Berbagai eksperimentasi karya ia lakukan bersama sang suami. Ia telah melalang buana dari Australia hingga daratan Eropa dan Afrika Utara. Pada masa-masa inilah kenangan pertamanya berjumpa dengan tasawuf dan negeri Arab dari film Lawrence of Arabia sedikit demi sedikit bangkit dari "kuburnya".

Bagaimanapun, Armstrong ternyata menyadari kekeringan jiwanya saat itu. Apa yang ia lakukan ternyata tak mampu memberi ketenangan bagi jiwanya. Selama hidup berpindah dari satu negara ke negara lain, Afrika Utara lah yang paling berkesan. Di negeri ini, tepatnya di wilayah Tunisia, Armstrong berkenalan dengan seorang muslim setempat. Tak pelak, dari perkenalan itu ia mulai belajar banyak hal tentang Islam secara mendalam.

Sekembalinya ke Autralia, Armstrong dan suami tinggal di Tasmania. Di tempat baru itu rasa penasarannya akan Islam ibarat air deras yang sulit dibendung. "Hidup selama 33 tahun di negeri Barat dan jauh dari kekayaan dan keindahan Islam," tuturnya, "bukan sesuatu yang tidak lazim. Ketika Islam memasuki hidupku, aku berjuang di antara standar hidup yang selalu berubah dari gaya hidup Australia tempat aku dilahirkan, dan kedalaman tradisi Islam yang menarik hatiku. Pertentangan batin itu berlangsung selama dua tahun" (hlm. 27)

Akhirnya, pada suatu hari dengan segenap tekad bulat Armstrong mendeklarasikan keislamannya di Islamic Centre di Fitzroy, Sandy Bay, Hobart. Beberapa waktu kemudian sang suami pun mengikuti jalan Amstrong, menjadi seorang muslim. Tapi, perjalanan spiritual Armstrong dengan segala suka-dukanya tak behenti sampai di sini.

Dari berbagai informasi yang ia baca baik dari buku maupun diskusi dengan sesama muslim, Armstrong lebih cenderung tertarik dengan konsep tasawuf. Tentu hal ini sangat beralasan jika dilacak dari masa kecilnya; betapa ayahnya yang pengagum karya-karya puisi, serta sebuah puisi sufi yang pernah dibacakan gurunya semasa SD telah memberi kesan signifikan.

Tepat di usia empat puluh satu tahun (tahun 1990), di hadapan seorang mursyid—guru spiritual—di Australia, Armstrong ditahbiskan dalam sebuah tarekat sufi al-Burhaniyyah al-Dasuqiyyah al-Syadzaliyyah yang didirikan oleh Syaikh Abu Hasan al-Syadzili. Namun, ziarah spiritualnya dalam tarekat itu rupanya tak semudah dibayangkan. Banyak tradisi yang terasa berat bagi muallaf semacam Armstrong. Harus meninggalkan kecintaan yang berlebihan pada duniawi, misalnya, adalah salah satu ciri utama ajaran tasawuf. Alunan musik Beethoven yang jadi musik favoritnya harus rela ditukar dengan alunan wirid dan dzikir. "Rute dari puisi Abou Adhem hingga tarekat betapa panjang dan berliku," demikian tulis Armstrong dan tampaknya menjadi sebuah pengakuan jujur darinya.

Meski demikian, kegigihan Armstrong mencari kebenaran di jalan tarekat ini memang layak diacungi jempol dengan asumsi bahwa ia adalah seorang perempuan "Barat" yang lahir dan hidup di lingkungan non-muslim. Tak tanggung-tanggung, Bernard Bethell dalam pengantar memoar ini pun turut memuji. "Inilah kisah sejati yang menggugah tentang seorang perempuan asli Australia dalam mencari kebenaran. Semoga dapat menjadi inspirasi, baik bagi orang muslim maupun non-muslim," tulisnya.

MEMAKNAI TRADISI ZIARAH


Judul Buku : Ziarah & Wali di Dunia Islam
Judul Asli : Le Culte des Saints dans Le Monde Musulman
Penulis : Henri Chambert-Loir & Claude Guiilot
Penerbit : Serambi & Ecole Francaise d’Extreme-Orient Forum Jakarta-Paris
Cetakan : I, April 2007
Tebal : 588 Halaman

Fenomena ziarah, entah itu ziarah ke makam wali atau kerabat, mempunyai tradisi yang berakar panjang dalam sejarah perkembangan agama Islam. Sampai kini, ziarah dan kewalian menjadi tradisi Islam yang hidup. Di sela gegap-gempita modernitas, wali-wali dalam Islam adalah manusia yang telah melampaui batas kemanusiaan. Mereka dianggap pewaris spiritual nabi dan makam mereka kerap dipandang sebagai kutub-kutub suci atau cabang-cabang Mekah.

Buku Ziarah & Wali di Dunia Islam ini memaktubkan sejumlah tulisan dan telaah menarik dari para sarjana Prancis ihwal fenomena dan tradisi ziarah makam wali dalam dunia Islam, sejak dari kawasan Magribi (Aljazair, Moroko, Tunisia), Irak, Mesir, Sudan, Afrika Barat, Iran, India, Bangladesh, Pakistan, India, Turki dan Asia Tengah, Balkan, Tiongkok, hingga makam Sunan Gunung Djati di Cirebon dan makam Kiai Telingsing di Jawa Tengah.

Buku ini menarik, sekaligus unik, karena seluruh telaah di dalamnya secara informatif mengungkap bagaimana fenomena tradisi ziarah makam para wali senantiasa merepresentasikan sintesa agama dan konteks kulturnya dalam panorama keberbagaian, yang sekaligus bermuara menjadi sesuatu yang global dan universal, yakni pemaknaan orang suci (wali) dan jejak biografinya yang menjadi tempat suci.

Makam Sunan Gunung Djati di Cirebon misalnya, tulis Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot dalam pendahuluan buku ini, adalah tempat pengungkapan perasaan religius yang bebas serta tempat memelihara ritus-ritus kuno. Jika amal sembahyang di masjid mencerminkan keseragaman dunia Islam, maka amal ziarah ke makam wali mencerminkan keanekaragaman budaya yang tercakup dalam dunia Islam. Makam wali, menurut penulis, adalah juga tempat pelarian, tempat orang merasa bebas dari berbagai paksaan, dan tempat merenungkan nasibnya, juga tempat berlindung bagi pengelana, dan sebagainya (hlm. 9).

Mengesampingkan terlebih dulu sejumlah kritik dan keberatan terhadap fenomena tradisinya, ziarah ke makam para wali, diakui atau tidak, telah membawa ingatan kita pada segenap hubungan antara orang suci dan tempat suci dalam pemaknaan waktu dan ruangnya. Tak ada satu pun tempat suci dalam tradisi ritus agama-agama besar yang tidak berhubungan dengan peristiwa bersejarah dalam hidup orang-orang suci, sebutlah nabi dan rasul. Tempat atau tanah suci inilah yang kemudian tak sekadar dipercaya sebagai kutub dari seluruh kesadaran transenden, namun juga berkaitan dengan ihwal identitas.

Penyebaran Islam ke berbagai belahan dunia telah membuat tanah suci (Mekah) semakin jauh dan mistis, sehingga membuat umatnya menciptakan tempat-tempat suci baru yang dianggap cerminan dari tanah suci yang sebenarnya. Karena itulah, menurut penulis, sesungguhnya hanya ada satu tempat saja yang ditunjuk oleh sejarah sebagai tanah suci, tetapi umat terus memperbanyak jumlah itu, sambil menyucikan negerinya masing-masing dan menciptakan peta kesucian baru (hlm. 12).

Dan proses penghadiran peta kesucian baru ini meniscayakan hubungannya dengan identitas pengeramatan manusia yang kemudian disebut sebagai wali. Oleh karena dalam Islam tidak ada lembaga yang bertugas mengesahkan kewalian, maka masyarakatlah yang mengangkatnya menjadi wali dan ini erat kaitannya dengan jaringan kehidupan tarekat sebagai kutub dari seluruh identifikasi orang suci.

Dalam hal inilah Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot memandang bagaimana para wali membentuk sebuah jaringan rantai panjang yang melalui fenomena pengeramatannya, menghubungkan para peziarah dengan sang penerima wahyu Ilahi. Setiap wali akhirnya menjadi leluhur baru buat satu marga, satu desa, satu daerah, bahkan satu bangsa. Seorang wali dan makamnya yang dikeramatkan dibayangkan menjadi mediator antara hari ini dan masa lalu, antara orang kebanyakan dan Rasulullah saw. sebagai kutub dari kesadaran atas orang-orang suci.

Seluruh prosesi ritus di makam para wali dan letak geografisnya sebagai tempat suci amat kuat dipengaruhi oleh penafsiran ihwal alam sebagai ruang sakral. Penulis mencontohkan bahwa, nyaris seluruh makam keramat di Jawa cenderung berada di atas bukit untuk menjelaskan pemaknaan simboliknya dalam khazanah budaya lokal. Dan tradisi ziarah dalam konteks ini menjelaskan apa yang dimaksud penulis; tradisi dalam pemaknaannya sebagai media pengatur memori kolektif (hlm. 27).

Di samping itu, hal yang selalu terdapat di berbagai tempat suci umat Islam adalah keberadaan air keramat yang diyakini mengalir dari masa lampau bersama kesucian tempat itu. Hal ini, mungkin, untuk mengutuhkan seluruh replika tentang Mekah dengan keberadaan air zamzamnya.

Bagi para peziarah, berdoa dan bertirakat di tempat suci adalah ikhtiar untuk berkomunikasi dengan isyarat ketuhanan yang tak terjangkau. Namun seluruh ikon, relik, dan prosesi ritual di tempat yang dikeramatkan itu, sekonyong-konyong menjadi medium yang mentransformasikan ruang kekinian yang profan ke dalam waktu dan ruang masa lalu yang penuh mistis dan suci. Menjadi bagian dan luluh ke dalam semesta misteri kegaiban tempat-tempat suci adalah juga bagian dari bagaimana identitas itu dimaknai. Tak sedikit tempat suci yang dipercaya sebagai pusat atau poros dunia. Pusat atau poros dimaksud lebih menekan pada poros kesadaran dan bersifat komunal.

Dalam konteks ini, penulis menilai bahwa sakralitas di berbagai makam wali tidak lagi melulu karena hubungannya dengan masa lalu, tapi karena ribuan orang berkonsentrasi di tempat itu sehingga memancarkan energi spiritual. Makam wali dan para peziarah, akhirnya, adalah pertemuan yang kerap menakjubkan tentang bagaimana tradisi dan identitas itu dimaknai.

Hal menarik dari buku bertebal 588 halaman ini adalah bahwa, tersajinya kritik dari kelompok yang mengecam praktik ziarah di setiap kawasan, dari Ibn al-Jauzi dan Ibn Taymiyah pada abad ke-12 sampai ke-13, Ibn Abd al-Wahhab, Rashid Rida, dan Sayyid Qutb pada abad ke-19 sampai ke-20, yang menganggap ziarah sebagai praktik syirik.

Akhirnya, berbeda dengan buku akademik lainnya, buku yang dilengkapi gambar dan peta ini mudah dan asyik diikuti. Suguhan informasinya sangat berharga, baik bagi peneliti, sejarawan, antropolog, maupun pelaku ziarah itu sendiri.

SKETSA BURAM PEREMPUAN PINGGIRAN


Judul : Somewhere Home
Penulis : Nada Awar Jarrar
Penerjemah : Catherine Natalia
Penerbit : Qanita, Bandung
Cetakan I : Januari 2007
Tebal : 284 halaman

Potret diskriminasi terhadap hak-hak perempuan memang telah banyak diangkat dalam berbagai bentuk media, tak terkecuali dalam karya sastra. Sastra menawarkan ruang sunyi untuk merefleksikan segala peristiwa dalam hidup manusia. Sastra juga kerap dijadikan media yang ampuh untuk melawan segala bentuk ketimpangan karena salah kaprahnya sistem yang berlaku di tengah masyarakat.

Di negara-negara berkembang, hak-hak perempuan di wilayah-wilayah strategis memang belum sepenuhnya mendapat perhatian. Secara tak langsung ini menandakan hadirnya imperialisme gender yang sama-sama sadis. Jika kita menyimak histori bangsa Arab jahiliyah, kehadiran anak perempuan dianggap sebagai aib bagi sebuah keluarga. Tak jarang ada yang beranggapan bahwa kehadiran perempuan merupakan alamat buruk.

Pada wilayah perlawanan semacam ini sastra biasanya akan bermain dengan sangat garang, meledak-ledak, serta penuh peristiwa-peristiwa monumental. Kita mengenal Nawal el Sadawi, sastrawati asal Mesir yang begitu meledak-ledak dalam setiap karyanya. Namun berbeda dengan karya yang satu ini, para penikmat sastra akan diajak menyimak perlawanan para perempuan Lebanon yang berjuang mendapatkan hak-haknya sebagai seorang perempuan di tengah-tengah masyarakat, sebagai istri bagi suami, maupun sebagai ibu dari anak-anak mereka. Novelis berdarah Lebanon-Australia, Nada Awar Jarrar, menggunakan setting Lebanon saat pecah perang saudara dalam novel ini. Perang memang selalu menyisakan persoalan kemanusiaan yang rumit serta memiliki dampak luas.

Secara teknis, novel ini dituturkan dengan teknik bercerita yang unik. Jarrar yang pernah mendapat penghargaan Shortlisted For The Common Wealth Writers Prze 2004 atas karya ini terlihat lebih halus dalam menyampaikan pemberontakannya dibanding Nawal. Namun, pembaca akan mengalami kesulitan pada alur yang melompat, seolah bisa ditebak bahwa pengarang mencoba mengabaikan penggunaan alur yang runtut. Pembaca dibebaskan menangkap ide tersirat dalam setiap paragraf.

Novel berjudul Somewhere Home ini dituturkan dalam tiga bagian. Pada bagian pertama, pengarang yang menetap di Lebanon ini mendeskripsikan satu persatu persoalan empat tokohnya; Maysa, Alia, Saeeda, dan Leila. Teknik penceritaan berbingkai dalam novel ini sangat terasa sekali ketika Maysa tak hanya menceritakan orang-orang selain dirinya, tapi ia juga menceritakan dirinya dari sudut “orang lain.”

Maysa yang menjadi narator dalam novel ini adalah cucu Alia. Ia menetap di pusat Kota Beirut. Namun perang saudara yang pecah mengusirnya pindah ke lereng gunung Lebanon. Maysa menikah dengan Wadih dan dikaruniai seorang anak perempuan, Yasmeen. Saat anaknya beranjak dewasa, Maysa ditimpa kesedihan mendalam karena putri satu-satunya tinggal bersama sang bapak di sebuah apartemen di Kota Beirut. Kesepian yang dirasakan Maysa memercikkan perlawanan dalam bentuk lain. Maysa melarikan diri pada ritual-ritual agama. Di lain sisi, tindakan Maysa ini merupakan kritik yang menarik. Di saat manusia menuai keterpurukan, mereka akan berbalik merengek pada Tuhan.

Berbeda dengan Maysa, Alia yang dinikahi Ameen hidup pada masa tradisi masih menjadi mainstream yang tak bisa diganggu gugat. Bahkan pernikahan mereka telah didesain tanpa ada pertemuan sebelumnya. Pada masa selanjutnya, sebagai ibu dari lima anak yang ditinggal suaminya merantau ke Afrika, Alia merasakan beratnya beban sebagai single parent. Ia dituntut untuk mengasuh anak-anaknya dengan naluri kelembutan seorang ibu, di sisi lain Alia juga harus berperan sebagai “ayah” yang mengajarkan kemandirian pada anak-anaknya.

Dalam wilayah budaya, Jarrar memotret perbedaan pola hidup penduduk pedesaan yang mendiami lereng gunung Lebanon dengan penduduk perkotaan. Jarrar juga menampilkan benturan yang terjadi dalam pertemuan dua kultur; Barat dan Timur. Ia mengilustrasikan hal itu dalam tokoh Leila dan Adel. Keduanya yang mahir bercakap-cakap menggunakan bahasa Prancis menjadi “tontonan yang aneh” di mata orang sesepuh Alia.

Pesan lain yang bisa dicerna dalam novel ini adalah perihal perbedaan kesenjangan status sosial. Jarrar menggambarkan bagaimana kehidupan anak-anak (Sara, Aida, dan Dina) bertemu dengan Amou Mohammed, paman mereka yang hidup di kamp pengungsian bersama anak dan isterinya. Amou Mohammed adalah salah satu dari pengungsi Palestina. Perang, sekali lagi, telah mencuatkan dampak yang tidak kecil. Kesenjangan status sosial bukan tidak mungkin menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja.

Secara khusus, novel ini berhasil membangun kritik atas marjinalisasi kaum perempuan bukan dengan cara berteriak-teriak, melainkan disajikan dengan style berbeda. Jarrar tampak begitu tekun menggali tradisi lokal. Meski ia memotret Lebanon sebagai setting, persoalan seperti ini sesungguhnya merupakan persoalan global. Jarrar mengisahkan para perempuan yang terpinggirkan oleh konservatifitas tradisi lokal, modernitas, serta tokoh-tokoh yang tersiksa oleh janji-janji dan romantisisme.

Dalam ungkapan yang lebih lugas, Jarrar mengajak kita untuk melihat perempuan tidak sekadar sebagai obyek dalam segala aspek kehidupan. Perempuan mesti diberi ruang gerak sejauh mereka sanggup mempertanggung jawabkan segala keputusan yang dibuat, sebagaimana juga kaum laki-laki. Di luar itu, terjemahan yang apik menjadikan novel ini kaya dengan ungkapan-ungkapan baru.

PETUALANGAN FANTASTIS PUTRI CIMORENE


Judul: Tantangan Naga, Kisah-Kisah Dari Hutan Pesona I
Penulis: Patricia C. Wrede
Penerjemah: Fahmy Yamani
Penerbit: Kaifa, Bandung
Cetakan: I, Agustus 2004
Tebal: 293 halaman (biodata penulis)

Mungkin, kisah dalam novel ini memang konyol; sangat fiktif, penuh fantasi melambung, kemudian diramu begitu saja dengan nuansa humor yang dikontraskan bersama sejumlah aksi menegangkan. Bagaimana tidak, seorang putri cantik yang hidup bergelimang segala fasilitas serba lux dalam istana, justru lebih memilih kabur dari rumah gara-gara persoalan remeh temeh, yakni ketika keinginannya untuk belajar memainkan pedang serta menguasai mantra, ditentang ayah bundanya. Keduanya berargumentasi bahwa hal tersebut tidak layak untuk dilakukan oleh anak perempuan dan menyalahi “kredo” tradisi. Dari sinilah konflik demi konflik dalam cerita ini bermula.

Putri itu bernama Cimorene (tokoh sentral dalam kisah ini), adalah putri bungsu seorang raja yang menguasai wilayah Linderwall. Meski kerajaan tersebut tersohor dengan segala gemah ripah loh jinawi-nya, toh pada kenyataannya hal itu membuat Cimorene merasa terkurung dalam puri emas yang dibangun orangtuanya. Ia tidak sepakat dengan pilihan-pilihan yang diberikan oleh mereka, mulai dari perintah belajar bahasa Latin, memasak, melempar bola hingga urusan privacy berkaitan dengan perjodohan dirinya. Yang lebih menyebalkan lagi di mata sang putri yang tomboy ini adalah saat diketahui ibu perinya “bermain mata” dengan kedua orangtuanya, dan pangeran Therandil, calon tunangannya, tampak susah dibujuk untuk mengakui ketidaksediaan menikahi dirinya.

Saat menghadapi situasi “genting” seperti ini, Cimorene nyaris patah arang. Tapi tokoh yang diciptakan Patricia (baca: pengarang) ini bukanlah sosok yang bodoh dan mudah kalut begitu saja menghadapi persoalan pelik serta rumit. Setelah gagal membujuk Therandil, Cimorene pergi ke taman istana. Gadis itu menggerutu, “Mendingan aku dimakan naga saja.” (hlm. 22). Suara lirih bernada nervous itu didengar oleh seekor kodok yang kemudian memberinya jalan keluar. Cimorene sepakat. Suatu malam sang putri ini dengan cara mengendap keluar dari istana. Mengikuti petunjuk yang pernah diberikan si kodok.

Cimorene sampai di sebuah gubuk reot di suatu pegunungan yang asing. Tak salah lagi, itulah gubuk seperti yang pernah dikatakan kodok dalam kolam istana. Cimorene tidak ragu-ragu menghampirinya. Namun betapa terkejutnya ia setelah tahu bahwa makhluk yang menghuninya adalah beberapa ekor naga. Melihat kedatangan putri yang jelita itu, di antara naga-naga sempat terjadi ribut-ribut kecil. Salah satunya berinisiatif untuk memakan sang putri. Cimorene ngeri. Perdebatan antara Cimorene dengan para naga itu berakhir setelah seekor naga secara tiba-tiba datang. Ia bernama Kazul. Seekor naga betina yang kelak menjadi “orangtua angkat” Cimorene.

Sejak diangkat sebagai putri, semakin tampak kecerdasaan Cimorene di mata naga Kazul. Tidak seperti putri-putri naga yang lain, Cimorene bukanlah tipe gadis pemalas. Ia pandai memasak, khususnya membuat puding ceri, gemar membaca, bersih-bersih, dsb. Ia juga pandai merayu. Lambat laun, kabar tentang Cimorene yang hidup bersama seekor naga tersiar sampai ke kerajaan Linderwall. Sang raja, ayah Cimorene, menjanjikan setengah wilayah kerajaan kepada para kesatria yang mampu membawa sang putri kembali ke istana. Namun tak ada satu pun yang berhasil, termasuk pangeran Therandil sendiri. Semuanya gagal bahkan takjub dengan pendirian Cimorene yang enggan diajak pulang.

Memutuskan hidup bersama naga barangkali bukan ide yang waras di mata semua orang. Namun sikap itu menjadi salah satu kepuasan tersendiri bagi Cimorene. Apalagi di situ akhirnya ia berkenalan dengan seorang penyihir perempuan baik hati bernama Morwen yang tinggal di Hutan Pesona, tiga orang putri tawanan masing-masing; Keredwel (dari kerajaan Raxwel), Hallana (dari kerajaan Ponbauth), dan Alianora (dari Duchy di Toure-on-Marsh), serta seorang pangeran batu. Dua orang terakhir kemudian menjadi sahabat sejati Cimorene. Tapi, realita tidak seluruhnya mewartakan kegembiraan. Di tempat itu, Cimorene tidak hanya dihadapkan dengan persoalan rumit para naga, melainkan dihadapkan pula dengan dunia magis para penyihir jahat yang suka membuat onar dan mengutuk para kesatria menjadi batu, kodok, atau apa saja. Dua penyihir laki-laki yang paling jahat bernama Zemenar (Kepala Perkumpulan Penyihir) dan Antorell (anak Zemenar). Keduanya akhirnya bisa dimusnahkan oleh Cimorene c.s. dengan siraman air sabun dicampur lemon.

Beberapa hari sebelum keduanya dimusnahkan, di jagad para naga tengah terjadi semacam upaya kudeta. Raja yang sah, naga Tokoz, diketahui mati diracun saat menikmati kopi Turki. Siapa aktornya masih menjadi teka-teki. Pemilihan raja baru pun harus sesegera mungkin dilaksanakan. Masing-masing naga yang mencalonkan diri jadi raja secara bergiliran harus mengangkat batu Colin dari Jalur Penyeberangan Ular Berbisik di dalam Hutan Pesona menuju Gunung Menghilang.

Kisah ini berakhir bahagia (happy ending) berupa kemenangan naga Kazul dalam pemilihan raja baru menggantikan raja Tokoz, mengalahkan naga Woraug dan seekor naga lainnya. Dinobatkanlah raja yang sah, naga Kazul (meski ia sendiri bejenis kelamin betina). Belakangan, kecurigaan Cimorene akan adanya persekongkolan antara naga Woraug dengan para penyihir ternyata benar terbukti. Kematian raja Tokoz memang ada sangkut pautnya dengan naga Woraug dan ulah para penyihir.

Kemenangan naga Kazul dalam pemilihan raja baru pada gilirannya menyisakan keprihatinan serta kesedihan tersendiri di benak Cimorene. Belum lagi dua sahabatnya, putri Alianora dan pangeran batu telah memutuskan untuk meninggalkan dirinya demi menempuh hidup baru di daerah yang baru pula. Namun, semua kesedihan itu terobati. Raja Kazul tetap mempersilahkan putrinya, putri Cimorene untuk tinggal bersama.

Banyak teka-teki yang belum terjawab dalam kisah ini, misalnya tentang nasib kerajaan Linderwall, keadaan pangeran Therandill, dsb. Sedang mengenai nasib Cimorene bersama raja naga Kazul, di halaman akhir novel ini disebutkan bahwa kisah ini masih berlanjut dalam novel karangan Patricia yang lain.

Meski demikian, inilah dunia cerita, dunia rekaan semata. Dunia yang diciptakan dari kata-kata dan imajinasi kreatif pengarang. Fantasi yang dibangun oleh Patricia memang terasa berlebihan bagi orang sedewasa dia. Namun, justru di situlah letak kekuatan novel ini sesungguhnya. Sisi lain kelebihan novel ini terletak pada pesan-pesan moral yang disampaikan. Bagi pembaca yang menggemari cerita fantasi semacam Harry Potter, putri Cinderella atau yang sejenis, kisah ini pasti tak kalah menarik dan menjadi tantangan yang sayang untuk dilewatkan. Setidaknya, saat Anda menikmati waktu senggang dengan makan kacang, novel ini cocok untuk dijadikan sebagai kawan.

RUMBAI KISAH DARI AFGHANISTAN


Judul Buku : Saudagar Buku dari Kabul
Penulis : Åsne Seierstad
Penerjemah : Sofia Mansoor
Penerbit : Qanita, Bandung
Cetakan I : Januari, 2005
Tebal : 463 halaman

Afghanistan, sebuah negeri dengan ibukota bernama Kabul, ternyata menyimpan riwayat yang panjang. Pergesekan sosial, politik, dan kultur—sebagaimana pada negeri-negeri lain—seperti tak kenal lelah. Terlebih perburuan teroris di bawah komando Amerika Serikat pasca tragedi WTC silam menjadikan pamor negeri ini makin mencuat. Beberapa media cetak dan elektronik dari berbagai belahan dunia menyorotinya dengan reportase yang beragam.

Layaknya negeri-negeri yang terlibat perang, boleh dikata kesejahteraan rakyat Afghanistan sangat jauh dari iklim dan struktur kehidupan yang mapan. Kemiskinan, penjarahan, buta huruf, dsb., bercokol bak jamur di musim hujan. Namun, secara umum tidak ada kebencian suku di antara berbagai kelompok yang bertikai di Afghanistan. Konflik yang terjadi lebih disebabkan oleh perebutan kekuasaan. (hlm. 93)

Fenomena itulah yang menggoda minat penulis buku ini, Åsne Seierstad, untuk menuangkannya dalam format cerita. Dia hendak berbagi cerita kepada khalayak pembaca seantero dunia berdasarkan kisah nyata tentang pertikaian berdarah yang merenggut ratusan ribu bahkan jutaan nyawa manusia di sana. Dia juga memaparkan konflik batin masyarakat Afghanistan sejak rezim komunis berkuas hingga tumbangnya rezim Taliban yang kolot.

Bagi Åsne, petualangannya ke kota Kabul telah menyisakan beragam impresi mendalam di benaknya. Salah satunya dikarenakan dia bertemu dengan seorang pria kaya terkemuka yang berprofesi sebagai pedagang buku. Namanya Sultan Khan. Pria itu berumur separuh abad lebih, memiliki dua isteri serta dikaruniai lima anak. Sultan adalah salah satu dari sekian warga Kabul yang mempunyai minat besar melestarikan dan menjaga kebudayaan serta kesusastraan Afghanistan. Dalam bidang sastra, suami Sharifa dan Sonya ini sangat mengagumi karya-karya penyair besar seperti Jalaluddin Rumi atau Firdausi.

Dalam upayanya memajukan pendidikan di Afghanistan pasca jatuhnya rezim Taliban, Sultan berinisiatif mencetak buku pelajaran sekolah menggantikan buku yang telah ada. Menurutnya, buku yang dicetak oleh rezim komunis sampai rezim Taliban sudah tidak sesuai lagi. Dia mencontohkan ketika rezim komunis berkuasa, soal-soal pelajaran matematika ternyata melulu berkutat pada bagaimana membagi kepemilikan tanah menurut prinsip egaliter dan hanya akan memandu anak-anak menjadi generasi baru komunis. Begitu juga dengan buku yang dicetak oleh milisi Mujahidin dan Taliban. Perang pun dijadikan tema utama dalam buku matematika.

Di mata Åsne, Sultan adalah sosok yang memiliki karakteristik unik dan paradoks. Di satu sisi, dia adalah pria yang memiliki kemauan keras dalam membangun kerajaan bisnis bukunya, tegas, namun fleksibel. Dia berpikiran liberal dan tak segan menolak kaidah-kaidah yang dibuat oleh rezim Taliban sejak kejatuhan rezim itu. Menurutnya, sudah saatnya masyarakat Afghanistan tidak disuapi ideologi-ideologi agama yang konservatif. Bagaimana mungkin mengejar ketertinggalan jika hanya melulu berdo’a dan berdo’a, tanpa ada kerja keras menambah wawasan pengetahuan?

Di lain sisi, Sultan tak jauh beda dengan seorang diktator yang otoriter dan doktriner. Wataknya keras, sekeras tanah pegunungan Afghanistan yang tandus. Namun, sisi pribadinya yang kedua ini lebih banyak ditampilkan dalam lingkungan keluarganya sendiri. Misalnya, ketika dia melarang anak-anaknya bersekolah. Bukan karena warisan tradisi Taliban yang membuatnya demikian, melainkan di matanya yang lebih penting dan pasti menjamin kesejahteraan masa depan adalah materialisme. Mereka harus diajari kerja keras, tegas dan loyal kepada ayah mereka, Sultan Khan.

Watak diktator dan otoriter, dengan demikian mendekatkan seseorang pada sikap angkuh dan egois. Dan secara perlahan namun pasti telah mengusik harmonisasi ritme kehidupan. Kehidupan akan digiring kembali memasuki alam purba yang memberlakukan hukum rimba. Seperti itu juga lah yang terjadi dengan kehidupan Sultan Khan. Tak ada yang lebih ampuh dari titah sang ayah kepada anak-anaknya. Sang suami kepada isterinya.

Egosentrisme yang dibangun Sultan paling tidak telah menimbulkan konflik horisontal antaranggota keluarga. Buntutnya, ibu serta saudara-saudara Sultan lebih memilih pergi mencari tempat tinggal baru mencari kebebasan yang sesuai dengan selera masing-masing. Salah seorang putranya yang mewarisi watak keras Sultan adalah Mansur. Pemuda ini sering tampil manis di depan ibu kandungnya, Sharifa, tatkala ayahnya ada di rumah. Namun, ketika ayahnya sedang bepergian, dia tak segan membentak Sharifa.

Kisah-kisah dalam buku ini memang terkesan bertumpang tindih. Namun kita dapat mengatakan bahwa Åsne telah berhasil melakukan dua hal sekaligus. Pertama, Åsne telah memanfaatkan seefektif dan seefisien mungkin media buku sebagai kanvas yang menampilkan warna berdesak-desak. Kedua, ternyata petualangan Åsne ke negeri Afghanistan memang tidak sekadar untuk memotret kehidupan keluarga Sultan Khan. Betapa tidak, dia juga "kepincut" dengan denyut kehidupan serta realitas sosial di Afghanistan—khususnya di kota Kabul—yang tak kalah menariknya dengan keluarga saudagar itu. Fenomena-fenomena sosial itu tentu sudah lama terkonstruk dan membiakkan relasi-relasi resiprokal.

Demikianlah, kehadiran buku ini memang layak disambut hangat oleh siapa pun yang berminat mengetahui lebih dekat kondisi serta psikologi sosial, politik, dan kultur Afghanistan secara akrab. Kepiawaian Åsne membangun narasi serta deskripsi agaknya menjadi salah satu faktor kunci yang meniscayakan karya ini enak dibaca. Pembaca dipersilahkan berdecak kagum sambil menggeleng-gelengkan kepala; atau sekadar manggut-manggut saja; atau bahkan ingin menggebrak bangku karena merasa dikecewakan. Apa dan siapa yang telah mengecewakan? Pokoknya, simak saja rumbai kisah dari Afghanistan ini !

JEJAK ORANG PRANCIS DI INDONESIA


Judul: Orang Indonesia & Orang Prancis Abad XVI sampai dengan Abad XX
Judul Asli: Les Français et I'Indonésie du XVIe au Xxe siécle
Penulis: Bernard Dorléans
Penerjemah: Parakitri T. Simbolon dan Tim
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta
Cetakan: I, Desember 2006
Tebal: xlii + 644 Halaman

Jika bicara sejarah, hal itu adalah bukti-bukti yang tertinggal dan masih ada. Sejarah adalah sebuah peninggalan, bisa berupa tulisan, naskah, atau artefak yang bisa dibuktikan kebenarannya secara ilmiah. Tanpa itu, ia hanya dongengan atau mitos adanya, ia hanya cerita fiktif yang tidak bisa dijadikan pijakan bahwa sesuatu dikatakan sebagai kisah sejarah.

Sampai sejauh ini, ada banyak pendekatan dalam melihat fenomena kisah kehidupan manusia. Homeros dan Hesiodos (700 SM) dikenal sebagai penutur bangsa Yunani, yang memaparkan kisah-kisah para dewa, cerita mitologi. Kisah yang bisa jadi hanya dongeng belaka dan tidak pernah terjadi. Sedangkan Herodotus (465-395 SM) dan Thukydides (465-393 SM), dikenal sebagai bapak sejarah modern. Kendati mereka menuturkan kisah yang benar-benar terjadi, mereka tetap saja tak bisa lepas dari motif sejarah mitologis, yakni motif mengenangkan dan mengagungkan. Mereka menuliskan kelebihan manusia, kebesaran raja-raja, para bangsawan dan pahlawan perang.

Secara umum, motif mitologis akan terasa kuat pada sumber tulisan sejarah lokal, yang bercerita tentang pelayaran orang-orang Eropa ke Nusantara. Yang terkenal di antaranya Suma Oriental yang ditulis pelayar asal Portugis, Tome Pires, pada 1512-1515 di Malaka. Namun, pendekatan ini diejek oleh Van Leur sebagai sejarah yang dilihat dari "dek kapal dan jendela loji". Pendekatan neerlando-sentris meskipun dapat dipertanggung-jawabkan dengan metode yang kritis dan rasional, praktis menempatkan pribumi dalam kedudukan marginal atau sebagai latar belakang dari pentas sejarah tempat kaum kolonialis beraksi.

Tapi, akan sangat berbeda dengan pendekatan yang dilakukan oleh Bernard Dorléans melalui buku berjudul asli Les Français et I'Indonésie du XVIe au Xxe siécle ini. Sebagian kisah dalam buku ini merupakan hasil telaah ilmiah sumber-sumber primer yang juga pernah terbit di majalah Archipel Prancis. Dorléans adalah sejarawan dari Universitas Sorbonne, Prancis, yang sejak 1986, tinggal di Indonesia dan menikah dengan seorang putri Jawa.

Sebanyak 298 gambar dan foto yang menyertai catatan-catatan perjalanan dalam buku ini setebal 644 halaman ini tidak saja menarik, tetapi juga membuat peristiwanya makin terasa hidup. Di samping itu, buku ini juga memaparkan kesaksian yang dituturkan oleh orang-orang Indonesia yang pernah tinggal di Prancis.

Meskipun para pencerita yang disusun Dorléans dalam buku ini adalah orang-orang Prancis yang bertindak di luar perlindungan atau tanpa disponsori penguasa di negerinya; berbeda dengan orang-orang Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda yang kemudian tidak saja menguasai perdagangan, tetapi juga menjadi penjajah di wilayah Hindia Barat dan Hindia Timur. Namun kesan marginal terhadap pribumi tetap saja muncul.

Ini bisa kita lihat dari catatan pelayaran Verrazane dan Pierre Caunay dari Honfleur ke Sumatera (1526-1529) yang menyiratkan bahwa betapa buruknya imaji orang "Barat" terhadap orang "Timur". Dalam catatannya, orang Prancis itu menulis, "Sikap orang Melayu berubah-ubah, penjilat, pengolok-olok, dan merupakan pedagang yang lebih menyebalkan daripada orang-orang Skotlandia" (hlm. 9).

Catatan perjalanan selanjutnya juga menggambarkan budaya Indonesia dahulu. Kerajaan Aceh, misalnya, diceritakan mempunyai sistem hukum yang unik, seperti memotong tangan bagi para pencuri. Cerita lain yang terbilang asyik adalah catatan mengenai orang Makassar. Temperamen kasar dan cenderung brutal juga diperlihatkan. Kisah orang Makassar lain yang menarik mungkin mengenai kisah pengembaraan dua pangeran Makassar di Prancis, pada masa kekuasaan Louis XIV dan Louis XV, yaitu Daeng Ruru dan Daeng Tulolo.

Kemudian pulau-pulau di bagian Jawa menjadi titik tolak berikutnya. Tercatat pula perjalanan ke Timor yang unik, mulai dari perjalanan Francois Peron dan Charles Lesueur pada catatan perjalanan berjudul "Berburu Buaya di Timor" (1803-1804). Dan Louis-Isidore Duperrey meneruskan eksplorasi ke Papua antara tahun 1822-1825. Catatan perjalanan Duperrey ini menjadi rekor tersendiri, karena inilah pertama kalinya pelayaran ilmiah yang dilakukan Prancis beserta semua awak kapalnya dapat kembali ke Prancis dalam keadaan selamat.

Kisah pelukis Basuki Abdullah dan Raden Saleh juga tercatat dalam buku ini. Raden Saleh tercatat pernah disambut oleh Raja Prancis, Louis-Phillippe d’Orleans di Paris. Raden Saleh sempat tinggal di Prancis selama beberapa tahun, dan memberikan satu lukisan berjudul "Berburu Kijang di Pulau Jawa" kepada sang raja.

Pada bagian "Gamelan Jawa dan Pengaruhnya pada Musik Claude Debussy", dikisahkan bahwa Claude Debussy, pemusik klasik tenar Prancis kala itu, justru merasa rendah diri, usai mendengar lantunan gending Jawa. Dalam catatannya Debussy menulis, "Jika Anda mendengar alunan gending Jawa dengan telinga Eropa yang normal, Anda harus mengakui bahwa musik kita tak lebih daripada sekadar bunyi-bunyi dasar sirkus keliling" (hlm. 521).

Secara umum, selain kisah tentang Herman Willem Daendels, dalam buku ini tercatat juga deskripsi mengenai Batavia "Tempoe Doeloe", catatan kenangan tentang Bali, dan perjalanan imajiner sastrawan Prancis, Honoré de Balzac, dari Paris ke Jawa pada 1832. Bahkan kisah perjalanan Arthur Rimbaud, sastrawan ternama Prancis, yang pernah datang ke pulau Jawa sebagai anggota tentara Belanda pada 1876 juga dihadirkan. Dan buku ini ditutup dengan artikel "Kesaksian Akhir Prancis pada Akhir Penjajahan selama Empat Abad" yang melukiskan hilangnya surga Kafka di bumi Nusantara.

Namun, perlu juga dicatat peringatan Adrian B. Lappian dalam pengantar buku ini agar kita tidak lantas beranggapan bahwa kita sudah memperoleh gambaran yang lengkap mengenai berbagai situasi yang dikemukakan dalam kisah-kisah yang ditulis oleh orang-orang Prancis di bumi Nusantara itu. Tentu saja masih banyak hal yang lolos dari perhatian mereka: "Bahkan ada pula yang mungkin keliru karena ketidaktahuan mengenai keadaan dan kebiasaan tempat yang dikunjungi. Belum lagi unsur-unsur prasangka dan persepsi etnosentris yang cenderung masuk dalam teks catatan perjalanan tersebut" (hlm. xviii).

Akhirnya, catatan perjalanan yang terkumpul dalam buku ini memberi gambaran lain daripada yang kita kenal dalam historiografi Indonesia sebelumnya. Dorléans tidak hanya memaparkan sejarah secara deskriptif-naratif, tapi juga mencakup bentuk-bentuk generalisasi, pola kehidupan sosial dan kultural, dengan memberi makna terhadap fakta-fakta. Bagi kita, bangsa yang konon dilanda amnesia sejarah, buku seperti ini bisa membantu guna merumuskan kembali format keindonesiaan yang aktual.

LIMA SOLUSI MENGOLAH MIMPI


Judul : Metode Mewujudkan Mimpi, 5 Keterampilan Utama Untuk
Mewujudkan Cita-Cita
Penulis : Paul Levesque & Art McNeil
Penerjemah : Ibnu Setiawan
Penerbit : Kaifa, Bandung
Cetakan I : Februari, 2005
Tebal : 262 halaman plus indeks

Pada dasarnya semua orang memiliki impian-impian atau cita-cita yang sangat bervariatif. Menjadi milyader, karier yang meroket, menjadi sastrawan besar, sampai cita-cita berhenti merokok, dsb., adalah sebagian kecil contoh kasus yang mudah dijumpai setiap hari di sekeliling kita. Yang cukup menggembirakan, ternyata setiap individu tersebut memiliki peluang sama besarnya demi meraih cita-citanya asalkan mereka memiliki kemampuan mengembangkan keterampilan tertentu.

Jika dicermati, masyarakat kita sebenarnya penuh dengan orang-orang yang memiliki pengetahuan akan tetapi sedikit sekali yang memiliki keterampilan khusus melakukan suatu usaha secara sistematis demi mewujudkan cita-cita tersebut. Kelemahan ini tentu saja menjadi salah satu kendala utama yang cukup serius dan perlu dicari solusinya.

Secara tradisional, banyak orang memandang kesuksesan yang mereka raih tergantung pada tiga faktor utama, yakni: bakat, keterampilan, dan ambisi. Bahkan pada beberapa kasus, kebanyakan orang menambahkan faktor keberuntungan (lucky) sebagai faktor keempat.

Melalui buku ini, kita akan menemukan perspektif lain yang mampu membangkitkan semangat bagaimana meraih impian-impian itu. Perspektif tradisional yang selama ini berkembang agaknya harus menepi untuk sementara waktu. Yang perlu digaris bawahi dalam karya yang ditulis oleh dua pakar konsultasi ini, Paul Levesque & Art McNeil, adalah bahwa karya ini tidak serta merta diperoleh dari keajaiban yang turun dari langit begitu saja.

Sebagaimana diakui sendiri oleh penulisnya, materi yang ditawarkan buku ini—yang diistilahkan kemudian dengan lima Keterampilan Makro—bermula dari ketekunan penulis melakukan observasi dan bimbingan kepada para klien yang datang kepada mereka dari berbagai latar belakang pekerjaan. Segala proses penggalian materi ini memang berjalan secara evolutif tetapi tidak mengurangi mutu yang dikandungnya.

Lima Keterampilan Makro yang ditawarkan itu antara lain; pertama, keniscayaan adanya aspirasi pada setiap individu. Aspirasi yang dimaksud di sini adalah adanya ide utama atau keinginan yang paling mendasar, seperti keinginan-keinginan yang telah dicontohkan pada paragraf pertama di atas. Tentu saja, keinginan yang paling mendasar ini menjadi mutlak adanya sebab dari keinginan tersebut kita akan ‘dipaksa’ meretas upaya-upaya untuk mencapai kesuksesan.

Kedua, adanya motivasi. Jika keinginan tersebut sudah tertanam kuat dalam benak kita, langkah selanjutnya adalah bagaimana membangun motivasi. Sebab, tanpa motivasi ini, mimpi tetaplah mimpi dan hanya akan menjadi omong kosong. Hal lain yang perlu dihindari dalam proses membangun motivasi ini adalah menyabotase diri. Kita dituntut optimis dan untuk bersedia membuka diri pada apa dan siapa saja. Sebab, siapa tahu motivasi yang kita cari justru datang dari orang lain (keluarga, pacar, kawan, dsb.).

Ketiga, adanya proyeksi. Proyeksi di sini, oleh penulis, diartikan sebagai kelincahan seseorang mengaitkan hari ini dengan hari esok. Intinya adalah tuntutan bagaimana menggunakan waktu sebaik-baiknya. Keterampilan Makro selanjutnya adalah adanya sikap inklusi.

Sikap ini menuntut keterlibatan orang lain dan hampir mirip dengan Keterampilan Makro tingkat dua. Artinya, dalam mencapai Impian Besar kita dituntut untuk mau bekerja sama dengan orang lain dalam menyelesaikan masalah. “Tak usah segan bertanya, tapi jangan terlalu banyak memberi tahu,” itulah prinsip dasar Keterampilan Makro tingkat empat ini.

Keterampilan Makro yang terakhir adalah adanya aplikasi. Jika langkah pertama sampai langkah keempat sudah dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah menerjemahkan ide yang tersimpan dalam otak menjadi tindakan nyata. Keterampilan Makro kelima ini pada umumnya mengajarkan semua pelajaran yang jarang kita dapati dari teori mana pun, melainkan melalui pelatihan-pelatihan dan lewat pengalaman langsung. Ketika menanjak pada tahap ini, seseorang yang hendak mengolah mimpinya menjadi kenyataan haruslah punya prinsip dasar, yaitu rasa optimis.

Alhasil, buku yang ditulis dengan gaya bahasa yang lugas dan mengalir ini akan cukup membantu siapa saja yang ingin meraih impian-impiannya. Kelebihan lain buku ini adalah penyantuman biografi singkat beberapa orang sukses yang sudah mendunia namanya, seperti Winston Churchill, Walt Disney, Oprah Winfrey, dsb. pada setiap akhir bab.

KISAH-KISAH BIJAK DARI INDIA


Judul : Hikayat Kalilah & Dimnah: Fabel-Fabel Alegoris
Penulis : Baidaba
Penerjemah : Wasmukan
Penerbit : Pustaka Hidayah, Bandung
Cetakan : I, Maret 2004
Tebal : 377 halaman.

Seandainya Baidaba jadi dihukum mati oleh raja Dabsyalim, maka buku yang berisi kisah-kisah penuh kearifan ini tidak akan hadir di tangan pembaca. Beruntunglah suatu hari sang raja berubah pikiran dan menyuruh para pengawal kerajaan untuk menghadirkan kembali Baidaba di hadapan sang raja. Kemudian raja berkata: “..aku ingin dan senang bila engkau menulis kitab untukku dengan bahasa yang fasih dan baik. Engkau bisa mencurahkan seluruh pikiran dan akalmu untuk menulis suatu kitab yang secara lahir merupakan politik bagi masyarakat umum dan mendidik mereka untuk taat kepada sang raja, sedangkan bagian dalamnya merupakan akhlak para penguasa dan politik mereka terhadap rakyat yang dipimpinnya.” (hlm. 37)

Baidaba adalah salah seorang filosof India yang hidup pada abad ke- 3 M. Ia berasal dari kasta Brahmana, kasta tertinggi dalam tradisi Hindu. Sebagai seorang bijak, ia disegani, dihormati, bahkan ditakuti karena kekuatan jiwanya yang ajaib dan memancar ke dunia. Dalam hal ini, Baidaba berbeda dengan para filosof Barat yang lebih mengedepankan upaya kritisisme nalar manusia.

Jika kita telusuri lebih jauh, India termasuk salah satu negeri besar yang memiliki fabel terkenal; selama Abad Pertengahan banyak kisah-kisahnya yang masuk ke Eropa. Semangat dan kecerdasan dalam kisah-kisah itu menjadikan pokok-pokok pelajaran tersebut mudah diingat.

Cara mentransformaikan pengetahuan seperti itu memang tidak dapat dipisahkan dari bahasa sebagai media tunggalnya. Adanya metafor, kiasan dan alegori, tentu bukan hanya sebagai asesoris belaka, tetapi alat vital untuk menyampaikan makna. Fabel hanyalah salah satu dari sekian banyak cara untuk menjadikan pelajaran yang ingin disampaikan melekat dan meresap di kepala setiap orang yang membacanya. Namun, tak jarang dalam kisah-kisah tersebut terkesan lucu dan kasar yang merefleksikan hukum riba yang keras dalam kehidupan manusia.

Pada kisah Tikus dan Kucing Hutan (hlm. 273), misalnya, kita dapat mengambil pelajaran bahwa dua musuh bebuyutan sangat mungkin menjadi sekutu, jika kepentingan kedua belah pihak sama. Hampir mirip dengan kisah kartun Tom and Jerry yang sudah tak asing bagi kita. Atau, sebuah persahabatan berbalik menjadi perseteruan apabila salah satu pihak telah menodainya, seperti pada kisah Kalilah dan Dimnah yang menjadi judul buku ini.

Tentang etika berpolitik, dalam tradisi masyarakat Hindu-India terdapat ungkapan bahwa raja harus selalu menjadi subjek seperti ibu terhadap anak kandungnya. Seperti seorang ibu, yang tidak mempedulikan objek-objek paling menarik pun bagi dirinya, hanya melihat kebaikan pada anaknya, demikian juga seharusnya sang raja bersikap. Artinya, seorang penguasa (Raja) yang baik adalah penguasa yang dapat mengayomi dan melayani rakyatnya, bukan justru sebaliknya bertindak kejam, menindas, dan menyengsarakan rakyat.

Ada semacam keharusan mutlak bagi penguasa di India untuk memperhatikan nasihat para Brahmana dan orang-orang tua dalam komunitasnya; mereka dianggap sebagai suara tatanan tradisional. Meskipun begitu, tidak ada kekuasaan yang mutlak yang dapat menghentikan penguasa jika dia memilih untuk mengabaikan nasihat mereka.

Hal inilah kemudian yang melandasi Baidaba untuk meluruskan jalan sang Raja. Maka suatu hari, ia mengumpulkan para muridnya dan mengajak mereka berfikir bersama mencari alternatif yang terbaik untuk mengingatkan penyelewengan kekuasaan yang dilakukan oleh sang Raja.

Tak dapat disangkal, sebuah kearifan dapat menjadi kekuasaan jika hal itu dapat mengubah, mengendalikan dan membentuk kepribadian manusia seutuhnya. Mahatma Gandhi, misalnya, yang tidak cuma dikenal dan dimiliki oleh masyarakat India, tetapi seluruh masyarakat dunia sebab keseharian hidupnya yang asketis dan aktifitas politiknya.

Para pemikir Eropa abad ke-18 menganggap kearifan sebagai penghalau kegelapan menjadi sebab masyarakat yang sempurna, mulia dan suci. Oleh karena itu, seorang bijak tentu tidak hanya layak untuk diibaratkan sebagai ensiklopedi suara manusia, mereka bukan sekedar “kamus” kebijakan yang bisa bergerak.

Buku Baidaba yang berjudul Hikayat Kalilah dan Dimnah: Fabel-Fabel Alegoris dan disusun dalam lima belas bab ini merupakan salah satu buku yang berisi nasihat-nasihat bijak yang dikemas dalam cerita-cerita binatang bagi para penguasa pada umumnya. Di dalamnya tidak hanya menyinggung persoalan etika berpolitik. Bagi kaum awam, buku ini juga menyingkap bagaimana idealnya sebuah persahabatan yang sejati dan menjalani hidup mulia.

Fabel Alegoris yang ditulis oleh Bidaba ini menjadi sumber kekayaan spiritual dan kearifan yang unik dan tiada habis-habisnya. Penuturan kisah-kisah di dalamnya yang sastrais telah menunjukkan betapa tradisi kesusastraan India memang layak diperhitungkan. Kisah-kisah dalam buku ini merupakan salah satu contoh khas dari melimpah-ruahnya fabel India tentang kearifan berpolitik, bersahabat, dan masih banyak lagi falsafah kehidupan manusia tentang kebenaran hakiki.

__________________
tulisan ini adalah tulisan bersejarah buatku

LEBIH DEKAT BERSAMA GUS MUS


Judul Buku : Ngetan-Ngulon Ketemu Gus Mus
Penulis : Abu Asma Anshari, Abdullah Zaim, Naibul Umam ES
Penerbit : HMT Foundation, Semarang
Cetakan : Pertama, 2005
Tebal : 347 halaman

Ada yang menarik ketika membaca judul buku ini; Ngetan-Ngulon Ketemu Gus Mus. Kata 'Ngetan' yang memiliki oposisi biner 'Ngulon' (keduanya diambil dari bahasa Jawa) dalam bahasa Indonesia berarti 'Ke Barat' dan 'Ke Timur', seperti sengaja menyinggung dua kutub berbeda. Pemilihan dua kata tersebut sebagai judul buku ini bagi saya memang tepat untuk merepresentasikan obyek yang diangkat di dalamnya; Gus Mus sebagai sosok unik yang kadangkala melangkah 'berlawanan' dengan mainstream.

Di kalangan pesantren, nama K.H.A. Mustofa Bisri—pengasuh pondok pesantren Roudlotut Tholibin, Leteh, Rembang yang akrab disapa Gus Mus—ini memang bukan nama yang asing. Bahkan menjadi hal yang aneh jika kiai yang satu ini kurang begitu dikenal oleh para kiai dan santri, khususnya mereka yang berasal dari kaum nahdhiyyin. Kesederhanaan pribadinya, bersahaja, supel, humoris, sekaligus cuek seolah mendarah daging dalam tubuhnya. Sikap tersebut menjadi ciri khas yang cukup kental serta tampak kontras dengan lazimnya sebagian kiai yang memiliki kecenderungan aristokrat dan elitis.

Ditilik dari latar belakang keluarga, sosial, hingga pendidikan yang pernah ditempuh baik di dalam dan luar negeri, tampaknya karakter Gus Mus yang unik tersebut memang sudah terbangun sejak kecil. Dalam lingkungan keluarganya, bisa dibilang ia adalah Gus (sebutan yang lazim bagi putera kiai dan memiliki implikasi status sosial) yang paling "nyleneh" dibanding para saudaranya. Namun, tidak jauh berbeda dengan mereka, Gus Mus kecil juga mendapat prioritas pendidikan agama yang cukup istimewa, selain diimbangi dengan pendidikan umum. Ayah Gus Mus, K.H. Bisri Mustofa, adalah salah satu kiai besar dan berpengaruh baik dalam organisasi masyarakat (NU), sampai pada wilayah sosial dan politik.

Melalui buku ini kita akan diajak memahami lebih dekat sosok Gus Mus yang tidak saja dikenal sebagai tokoh agama atau masyarakat. Namun memahami Gus Mus yang banyak dikultuskan terutama oleh sebagian besar warga NU sebagai sosok 'yang lain' jelas akan menemukan pergeseran ketika pribadinya dibicarakan pada wilayah berbeda seperti seni, budaya, dan politik.

Sebagai seorang seniman, sastrawan, sekaligus budayawan, Gus Mus—yang menurut Sutardji Calzoum Bachri mengingatkannya pada sosok Hamzah Fanshuri—cukup kritis dan berani meski hal itu ditujukan untuk kalangannya sendiri, kalangan NU dan pesantren. Menariknya, dalam menyampaikan kritik baik lewat esei, puisi, cerpen, maupun lukisan, Gus Mus pandai membungkus kritik itu dengan bahasa yang lugas bahkan tak jarang di selingi humor. Hal inilah yang membuatnya cukup disegani dan diperhitungkan oleh banyak kalangan, dari rakyat sampai pejabat.

Ketika rezim orde baru yang diktator dan otoriter merepresi segala sektor, termasuk dalam soal seni dan budaya, dengan lantang Gus Mus berani tampil menyuarakan kebusukan pemerintah terutama lewat puisi. Di saat bangsa ini memasuki era reformasi, Gus Mus masih juga konsisten dalam berbagai aktifitas kreatif yang ditandai dengan lahirnya sebuah lukisan kontroversial berjudul "Berdzikir Bersama Inul."

Dua sisi berbeda (ulama dan seniman) yang ada dalam diri Gus Mus tersebut menjadi modal utama keikutsertaannya menciptakan iklim perubahan tanpa harus menjustifikasi salah satu pihak, tak ketinggalan lembaga pesantren yang menjadi kendaraannya. Selama ini pesantren memang dikenal loyal pada suatu mainstream tertentu hingga lembaga pendidikan tradisional ini terkesan kurang memberi tempat bagi proses kreatif para santrinya, termasuk penciptaan karya seni dan sastra. Kalau pun ada, biasanya pesantren hanya akan mewadahi proses berkesenian yang berkaitan dengan tradisi mereka dan beraroma Arabisme. Padahal ini justru akan memperkuat stigma bahwa kaum santri memang orang-orang yang sengaja memilih jalan hidup konservatif.

Di tangan Gus Mus stigma tersebut dirubahnya dengan cara-cara inklusif, egaliter, dan universal. Ia berhasil menjaga netralitas serta memberi porsi sewajarnya pada lembaga pesantren di satu sisi, dan kebebasan berekspresi pada sisi yang lain. Dalam pandangan Gus Mus, untuk memajukan syiar agama tak perlu melalui cara-cara yang keras dan hanya akan menakuti-nakuti orang lain. Dalam hal ini Gus Mus mencoba menerapkan pesan al-Qur'an bahwa untuk mengajak seseorang kembali ke jalan Tuhan hendaknya digunakan cara yang bijaksana atau dengan bertutur kata yang menyejukkan kalbu.

Hampir tak ada bedanya kiprah Gus Mus dalam bidang keagamaan dan seni budaya, di wilayah politik namanya juga sering diperhitungkan baik di tingkat lokal maupun nasional. Karir politiknya diawali ketika ia mulai dilibatkan dalam berbagai diskusi para politisi PPP. Meski pada akhirnya kursi DPRD sampai MPR sudah pernah didudukinya, tampak Gus Mus bukan tipe pribadi yang gila nama, kuasa, dan harta. Hal ini terbukti dengan pengunduran dirinya dari kursi DPRD Jateng pada 1992.

Tumbangnya orde baru yang ditandai dengan lengsernya Soeharto memang menawarkan iklim yang sama sekali baru. Puluhan parpol muncul bak jamur di musim hujan, tak terkecuali kelahiran PKB yang dibidani para tokoh NU. Namun berbeda dengan para politisi yang terjebak euforisme, Gus Mus justru tidak tertarik sama sekali terjun ke dunia politik. Hal ini bukan berarti ia tak peduli soal politik, justru di sela kesibukannya mengasuh pesantren Roudlotut Tholibin Gus Mus sering dimintai petuahnya.

Pada akhirnya, kita memang sepakat dengan apa yang dikatakan Utomo Dananjaya bahwa Gus Mus adalah sosok yang unik sekaligus 'multifungsi'. Ia adalah kiai, seniman, dan pejuang demokrasi yang bisa disejajarkan dengan Gus Dur yang menjadi kawan akrabnya sejak sama-sama kuliah di Mesir. Hanya saja kedua sosok ini menempuh perjuangannya dengan jalan yang berbeda.

19 Januari 2008

Persinggungan Mitos dan Sejarah


Judul Buku : Putri Cina
Penulis : Sindhunata
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama (GPU), Jakarta
Cetakan : I, September 2007
Tebal : 304 Halaman


Sastra adalah roh kebudayaan. Ia lahir dari proses kegelisahan sastrawan atas kondisi masyarakat dan terjadinya ketegangan atas kebudayaannya. Sastra sering juga ditempatkan sebagai potret sosial. Ia mengungkapkan kondisi masyarakat pada masa tertentu. Dari sanalah, sastra memberi pemahaman yang khas atas situasi sosial, kepercayaan, ideologi, dan harapan-harapan individu yang sesungguhnya merepresentasikan kebudayaan bangsanya.

Dalam konteks itulah, membaca sastra suatu bangsa pada hakikatnya tidak berbeda dengan usaha memahami kebudayaan bangsa yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, mempelajari kebudayaan suatu bangsa tidak akan lengkap jika keberadaan kesusastraan bangsa yang bersangkutan diabaikan. Begitu pula dalam novel Putri Cina karya terbaru Sindhunata ini, yang tidak hanya merepresentasikan kondisi sosial pada zaman tertentu, tetapi juga menyerupai pantulan perkembangan pemikiran dan kebudayaan masyarakatnya.

Semula, novel ini merupakan katalog berjudul Babad Putri Cina yang ditulis untuk mengiringi Pameran Lukisan Putri Cina, karya Hari Budiono, pada bulan Mei 2006, namun Sindhunata memperdalam dan mengembangkan lagi ide dan ceritanya. Selain itu, sebagaimana diakuinya dalam pengantar, untuk cerita mengenai Jaka Prabangkara dalam novel ini, Sindhunata menimba ilham dari buku Menyurat Yang Silam Menggurat Yang Menjelang karya Nancy K. Florida (2003).

Novel setebal 304 halaman ini mengambil sudut cerita perjalanan seorang putri Cina yang hidup di tanah Jawa. Di situ perpaduan antara kebudayaan Jawa dan Cina diuraikan dengan amat memikat. Persinggungan antara fakta dan fiksi tentang kaum peranakan dibuat sangat indah. Sindhunata berhasil memadukan pertalian cerita pewayangan yang amat dikenal di dalam kebudayaan Jawa dengan kebudayaan Cina yang sudah berkembang turun-temurun di tanah Jawa.

Tentu bukan kebetulan bahwa sang pengarang adalah seorang keturunan Cina kelahiran Malang, Jawa Timur, yang mengalami dan menggeluti kebudayaan Cina dalam praktek sehari-hari. Dan bukan kebetulan pula bahwa dalam perjalanannya, sang pengarang ternyata sangat akrab dengan kebudayaan Jawa, terutama cerita wayang.

Dalam novel yang sebagian ceritanya pernah dipentaskan ketoprak dalam lakon “Putri Cina”, yang naskahnya ditulis oleh Indra Tranggono ini, Sindhunata melancarkan kritik sekaligus sebuah refleksi bagi siapa saja, tak peduli Cina atau Jawa, namun sebenarnya pada setiap manusia, bahwa setiap upaya manusia untuk memiliki atau mengejar impian selalu diikuti dengan naluri untuk menjadi lupa diri. Yang dalam bahasa Jawa, melik nggendong lali: hasrat ingin memiliki selalu membuat orang lupa diri.

Secara garis besar, novel ini menggambarkan peralihan kekuasaan di tanah Jawa yang selalu berlumur darah dan pengkhianatan. Ketika raja tak mampu menghadapi beragam persoalan, akan selalu diperlukan kambing hitam. Identitas menjadi permainan politik. Di situ, memakukan identitas tunggal tak hanya berbahaya, tetapi juga kejam. Manusia terus mengulang sejarah itu dalam konteks politik yang berbeda-beda. Pemerkosaan terhadap perempuan etnis Cina juga terjadi waktu itu dan sejarah kontemporer mencatat pengambinghitaman etnis Cina sejak tahun 1740.

Karena itu, cerita dalam novel ini, yang hendak disuarakan Sindhunata, tak lebih sebagai sekadar alur besar, yang menjadi sampiran bagi bercabang-cabang kisah lainnya, yang jauh lebih penting. Misalnya, bahwa kisah mengenai perempuan sudah tentu disertai pembicaraan mengenai penderitaan dan pengorbanan. Apalagi kalau subjek kisah itu adalah perempuan Cina, yang sudah diketahui sejak berabad-abad lamanya telah banyak dikorbankan dan dikambinghitamkan.

Setidaknya, ada dua putri Cina dalam novel ini. Yang pertama adalah putri Cina yang diceraikan Prabu Brawijaya, ibu dari Raden Patah, penguasa baru Tanah Jawa yang kelak menggulingkan sang ayah. Dia membawa Tanah Jawa menapaki zaman baru, dan oleh para wali diminta menjadi jembatan antara Jawa Lama menuju Jawa Baru, antara agama lama menuju agama baru. Putri Cina lainnya adalah Giok Tien, pemain ketoprak Sekar Kastubo.

Hampir setengah bagian terakhir novel ini mengeksplorasi kisah Giok Tien, termasuk kisah cintanya dengan pemuda Jawa bernama Setyoko, suami, yang kelak menjadi Senapati Gurdo Paksi di Kerajaan Pedang Kemulan Baru. Sesungguhnya, kisah mereka tidak berhenti sampai di situ. Ketika Giok Tien dan Gurdo Paksi mati di depan kuburan Giok Hong dan Giok Hwa, berubahlah mereka berdua menjadi sepasang kupu-kupu, yang terbang dengan riang ke angkasa, menuju ke utara. Tak kelihatan lagi, mana yang Cina mana yang Jawa. Kupu-kupu itu bukan kupu-kupu Cina atau kupu-kupu Jawa. Kupu-kupu itu adalah kupu-kupu cinta yang mempersatukan mereka berdua, Cina dan Jawa.
Sindhunata berhasil meramu mitos dan sejarah bergulat menjadi kenyataan hidup. Misalnya, peran Eng Tay yang dilakonkan Giok Tien dalam ketoprak Sam Pek-Eng Tay adalah lakon hidupnya sendiri. Cinta yang mengikat, cinta pula yang memisahkan. Seperti kesia-siaan. Akan tetapi, adakah kesia-siaan ketika kita menyaksikan kupu-kupu cinta tak lagi memisahkan Jawa dan Cina, kupu-kupu kuning yang mati di utara, memanggil hujan yang menyegarkan dan menyuburkan tanah; kupu-kupu Putri Cina yang mengubah bunga-bunga kematian menjadi kehidupan dan menaburkan permata berupa buah-buah doa ke seluruh dunia?

Dengan cara bertuturnya yang khas, Sindhunata akan membawa pembacanya ke dalam sebuah alam, di mana mitos dan kenyataan historis sedemikian bersinggungan tanpa pernah terpisahkan. Di sini sejarah seakan hanyalah panggung, tempat tragika mitos mementaskan dirinya. Dengan amat menyentuh, novel ini berhasil melukiskan, bagaimana di panggung sejarah yang tragis itu cinta sepasang kekasih yang tak ingin terpisahkan oleh daging dan darah pun akhirnya hanya menjadi tragedi yang mengharukan hati dan kaya akan permenungan hidup.

Itulah tragika anak manusia yang digeluti oleh novel Putri Cina ini. Sindhunata melukiskan, bagaimana anak manusia itu ingin mencintai bumi tempat ia berpijak. Tapi ternyata bumi tersebut tak mau menjadi tanah airnya yang aman, damai dan tentram. Ia yakin, dengan dilahirkan di dunia, semua manusia adalah saudara. Tapi mengapa manusia-manusia di bumi tempat ia berpijak itu tak mau menerima dirinya sepenuh-penuhnya?

Hal ini bisa kita lihat dalam nyanyian anak-anak Cina yang hidup di Tanah Jawa, sebagaimana dikutip Sindhunata sebagai ending novel ini: Di dunia ini semua manusia/menanggung nasib yang sama/karena kita semua adalah debu/Cina dan Jawa, sama-sama debunya/mengapa kita masih bertanya, siapakah kita?/Toh dengan dilahirkan di dunia, kita semua adalah bersaudara (hlm. 302).

Akhirnya, melalui novel ini, Sindhunata berhasil menerjuni tragika pergumulan identitas dalam pelbagai lika-likunya. Ia menggeluti tragika itu lewat pengetahuannya yang luas dan kaya tentang filsafat dan mitos, baik Jawa maupun Cina. Tragika itu juga ditelusurinya lewat babad dan sejarah. Lalu dijalinnya semua itu dalam sebuah sastra tentang putri Cina yang merupakan pergumulan eksistensial menyangkut identitas.

***
Moh Fahmi Amrulloh, pembaca sastra asal Jombang