08 Februari 2008

MEMBACA IMAJI LIAR GAARDER


Judul : Putri Sirkus dan Lelaki Penjual Dongeng
Judul Asli : The Ringmaster’s Daughter
Penulis : Jostein Gaarder
Penerjemah : A. Rahartati Bambang
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan I : Februari, 2006
Tebal : 394 halaman

Menyusul novel Gadis Jeruk, novel teranyar Jostein Gaarder yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh penerbit Mizan ini tampaknya tak perlu dianggap terlalu mengejutkan bagi para penggemarnya di tanah air. Sebab, seperti dalam karya-karyanya yang lain, Gaarder tampak masih setia mengumbar imajinya disertai aroma filsafat yang sangat menggoda.

Demikian halnya dengan novel Putri Sirkus dan Lelaki Penjual Dongeng ini. Meski terkesan nakal dalam mengolah alur cerita, terlihat Gaarder bersikap hati-hati. Dengan kata lain, sebenarnya Gaarder masih belum dapat dikatakan sepenuhnya “ugal-ugalan”. Sebaliknya, novel ini mengajak pembaca melihat bagaimana Gaarder kembali “beraksi” mengaduk-aduk fakta dan fiksi. Ia seperti mempersoalkan dua kutub berbeda yang secara aplikatif memiliki wilayah “ontologis”-nya sendiri.

Novel ini mengisahkan seorang tokoh utama bernama Petter yang dijuluki sebagai “Si Laba-Laba”. Petter lahir dan besar dari sebuah keluarga yang tercerai berai. Namun, masa hidupnya bersama orangtua sebenarnya lebih banyak dihabiskan bersama ibu kandungnya sendiri, sebelum sang ibu meninggal pada tahun 1970 ketika Petter berusia enam tahun.

Petter kecil memang anak yang aneh. Ia terbiasa bermain dalam “dunia”-nya sendiri. Ia hidup dari sebuah negeri fantasi yang dibangunnya sendiri. Sebaliknya, dalam berinteraksi dengan orang-orang di dunia nyata, tepatnya ketika ia bergaul dengan teman-teman sebaya ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, Petter justru menutup diri. Pengalaman inilah yang kemudian menentukan langkahnya ketika ia beranjak dewasa.

Kelebihan yang dimiliki Petter sebenarnya adalah kepandaiannya membuat cerita fiksi. Ketika ia dewasa, pengalamannya menjelajahi dunia fiktif ternyata masih terekam kuat dalam memorinya. Konflik yang muncul kemudian adalah pertanyaan Petter yang diajukan kepada dirinya sendiri; apakah mungkin manusia mampu bertahan hidup dari dunia ide, sementara kebutuhan perut yang jelas-jelas riil tentu tak kenyang disuguhi makanan yang abstrak?

Secara hati-hati dan cermat, pertanyaan ini terjawab ketika Petter kemudian memutuskan untuk menjual ide-ide briliannya tersebut dalam bentuk sinopsis cerita. Awalnya, ia hanya iseng menjual karya-karya mentahnya itu untuk memenuhi kebutuhan bersenang-senang; minum-minuman keras dan mengencani setiap gadis yang menurutnya “perlu untuk dikencani”.

Novel ini mempersoalkan, tegasnya mempertanyakan, bagaimana manusia harus survive demi kelangsungan hidupnya sendiri. Terkadang, manusia memang terlalu naif untuk hal ini. Barangkali, bagi kebanyakan orang menjual ide-ide cemerlang adalah hal paling gila. Namun, bagi Petter hal itu cukup wajar. Ia butuh hidup dan untuk itu menjual ide adalah pekerjaan yang paling bisa dilakukan.

Akan tetapi, pada kenyataannya tindakan Petter ternyata dianggap merusak iklim dunia sastra, khususnya sastra Norwegia, tempat dimana Petter tinggal dan berpetualang. Namun sebelum itu, ia sempat pula mendirikan sebuah klinik “bawah tanah” yang diberinya nama Writer’s Aid. Lewat klinik inilah Petter mulai bersosialisasi dengan para penulis. Mulai dari penulis yang sudah pernah menelurkan beberapa karya sastra sampai para penulis pemula.

Namun seperti kata pepatah; sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga. Begitu juga yang dialami Petter. Keberhasilannya membesarkan nama para novelis ternyata berimbas negatif. Hal ini tercium ketika ia menghadiri bursa buku di Bologna. Seorang rekannya secara terang-terangan memberi kabar bahwa koran Corriere Della Sera menengarai kesuksesan beberapa novelis pada saat itu didukung oleh “Si Laba-Laba” yang bermain di balik layar.

Jika dicermati, sebenarnya ini adalah salah satu persoalan yang diusung novel ini. Persoalan lain yang sengaja dibidik novel ini tentunya adalah masalah budaya. Setereotip seniman atau sastrawan haruslah bertampang dan berperilaku urakan memang banyak disinggung dalam novel ini. Tegasnya, novel ini juga menyindir gerakan seniman yang anti kemapanan.

Secara ringkas, Gaarder mendeskripsikan karakter tokoh utamanya sebagai seorang yang sangat membenci ketenaran, suka minum-minuman keras, dan bercinta. Tiga sikap ini sudah mendarah daging dalam tubuh Petter. Bahkan dari hasil hubungan gelapnya dengan seorang perempuan bernama Maria, Petter sebenarnya memiliki “anak haram” yang pada akhir cerita diketahui bernama Beate. Lebih dari itu, pertemuan Petter dengan Beate ternyata menyingkap masa lalunya sendiri.

Kendati novel ini menuai kritik yang tajam dalam ulasan Bagja Hidayat (Koran Tempo, 30/04/2006), tak urung karya ini masih terasa manis untuk dinikmati. Kokohnya bangunan literatur Gaarder dalam bidang filsafat tampak pula masih sulit tergoyahkan. Pengarang yang juga giat mengkampanyekan pelestarian lingkungan melalui Sofie Foundation ini memang unik dengan imaji liarnya yang tak berbatas, seperti dalam dunia dongeng ia hidup.

RAHASIA SUKSES BERBISNIS


Judul : Pengakuan CEO;
21 CEO Dunia Berbagi Resep Sukses Mengelola Perusahaan
Penyusun : Editor The Wall Street Journal
Penerjemah : Rahmani Astuti
Penerbit : B-First, Yogyakarta
Cetakan I : Maret, 2006
Tebal : xxi+216 halaman

Barangkali kita hanya tahu sekilas tentang kejayaan nama Microsoft, Siemens AG, GE (General Electric), dan sebagainya, namun kita sulit mendapatkan informasi bagaimana para pemilik perusahaan-perusahaan itu mampu bertahan di tengah arus persaingan pasar yang sudah sedemikian mengglobalnya serta kian kompetitf. Belum lagi secara umum ada semacam anggapan bahwa rahasia perusahaan haruslah ditutup rapat-rapat. Namun, ternyata anggapan tersebut akan menjadi "tidak benar" jika kita menyimak buku ini.

Tak dapat dipungkiri bahwa setiap usaha atau bisnis tentu berhadapan dengan rintangan. Dalam mengatasi hal ini, seorang pemimpin perusahaan dituntut mampu bertindak tegas dan cakap dalam mengambil setiap kebijakan. Dengan melakukan manuver-manuver tertentu, misalnya, di situlah keyakinan seorang pemimpin perusahaan benar-benar diuji.

Lewat buku yang disusun oleh tim editor The Wall Street Journal ini setidaknya kita, khususnya para eksekutif muda, tak perlu ragu-ragu mengaplikasikan kiat-kiat mengatasi rintangan tersebut. Secara keseluruhan materi buku yang disusun dari hasil wawancara dengan para CEO perusahaan raksasa dunia seperti GE (General Electric), Microsoft, Siemens AG, MTV Network, dll., terasa pas untuk dipelajari.

Buku yang terdiri dari tujuh bagian ini akan mengajarkan bagaimana semestinya seorang pemimpin perusahaan atau usaha apa pun mengelola usahanya dengan baik, secara internal maupun eksternal. Misalnya, yang harus dilakukan oleh seorang bos adalah memotivasi karyawannya. Sebab, secara alamiah hubungan harmonis antara pemilik modal dengan para pekerja adalah sesuatu yang mutlak. Hal inilah yang menjadi acuan Jack Welch, CEO General Electric Co.

Sementara di mata Steve Ballmer, CEO Microsoft Corporation, sebuah perusahaan haruslah memiliki prospek yang jelas. Ia mengingatkan kita bahwa ketika Microsoft terancam pecah karena persaingan pasar pada tahun 2000-an ditambah masalah hukum yang begitu kompleks di tubuh perusahaan yang dipimpinnya, ada tiga hal yang perlu mendapat perhatian serius. Pertama, pemimpin perusahaan harus yakin bahwa ia memiliki karyawan yang hebat. Kedua, seorang pemimpin harus berfokus kembali pada tujuan-tujuan yang jelas. Ketiga, yang paling penting, seorang pemimpin perusahaan haruslah mempunyai dalil yang jelas, yang mengedepankan pemikiran untuk disampaikan kepada seluruh karyawannya. (hlm. 16)

Bagi Jack Welch maupun Steve Ballmer, memotivasi para karyawan adalah tindakan yang menjadi prioritas mereka. Selain itu, masih menurut Steve Ballmer, sudah pasti pula seorang pemimpin harus pandai menentukan arah yang jelas. Tujuan akhir itulah yang kemudian diharapkan mampu menggiring ribuan orang untuk berbondong-bondong melirik produk "kita".

Senada dengan kedua bos tersebut, John Chambers—CEO Cisco System Inc.—juga menawarkan resep yang hampir sama. Menurutnya, korporasi antara produsen dengan konsumen adalah yang jadi prioritas. Singkat kata, menurut Chambers, konsumen adalah "Raja". Ketika Chambers diangkat menjadi CEO pada tahun 1995, perusahaan yang bergerak di bidang jaringan komputer itu memiliki sekitar tiga ribu karyawan dengan volume penjualan kurang lebih 2 miliar dollar per tahunnya. Namun di ahir Mei 2000, di tengah keprihatinan mengenai taksiran nilainya yang tinggi serta mundurnya investor dari sahan teknologi, harga saham yang sebelumnya melambung telah kehilangan peringkatnya. Untuk mengatasi persoalan itu, Chamber menawarkan resep sederhana; yakni, melakukan terobosan baru yang lebih menekankan pada minat pasar serta kedisiplinan semua karyawan.

Langkah lain yang perlu diperhatikan oleh para pemimpin perusahaan adalah bagaimana menciptakan trend serta memenangi kompetisi yang sehat seperti yang dilakukan Tom Freston, CEO MTV Networks, atau Heinrich von Pierer, CEO Siemens AG. Memasuki usianya yang kedua puluh satu, jaringan MTV tetap menjadi trendsetter dalam pasar anak muda dengan aneka ragam hiburan yang ditawarkan, seperti musik, fesyen, atau gaya pergaulan yang selalu segar. Bahkan saluran acara untuk anak-anak, Nickleodeon, sanggup bertahan sebagai saluran kabel yang paling banyak digemari di hampir seluruh negara. Kesuksesan Fresto yang memulai kariernya di bidang periklanan tampaknya dimulai dengan usahanya mengombinasikan kesuksesannya di kalangan para penonton muda dengan penelitian pasar yang tak kenal lelah.

Sementara CEO Siemens AG Jerman, Heinrich von Pierer, kendati banyak menuai kritik dari para analis pasar yang mengatakan bahwa ia tak setangguh rekannya, Jack Welch, ia memliki langkah kompetisi yang unik. Heinrich kerap mengilustrasikan langkah bisnisnya dengan olah raga tenis, cabang olah raga yang paling digemarinya. Menurutnya, pertama, seorang pemimpin perusahaan harus belajar untuk menang dan kalah. Kedua, seorang pemimpin perusahaan haruslah pandai menilai lawannya. Beberapa pemikiran Heinrich yang progresif dan agak filosofis tak diragukan telah membawanya pada sebuah kejayaan perusahaan raksasa.

Pada akhirnya, menyitir apa yang diungkapkan Tom Peters dalam kata sambutan buku ini, bahwa kepemimpinan ternyata luar biasa kompleksnya dan sangat sederhana sekali. Dan, buku ini memberikan sebuah kontribusi yang benar-benar penting pada literatur tentang kepemimpinan yang kebanyakan kurang begitu bermutu.

DUNIA MORAL VICTOR HUGO


Judul : Les Misérables
Penulis : Victor Hugo
Penerjemah : Anton Kurnia
Penerbit : Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan I : Februari, 2006
Tebal : 689 halaman

Salah satu ciri khas sastra klasik—tak terkecuali sastra Eropa—adalah selalu ditandai dengan menonjolkan semangat heroisme serta pesan moral yang disampaikan secara filosofis tanpa mengabaikan kekentalan unsur romantisme dan spiritualitas. Namun, di balik itu sebenarnya sastra Eropa tempo dulu bisa dibaca pula sebagai sebuah kritik serta pemberontakan atas penyimpangan praktik sosial, politik, hukum, bahkan sampai pada wilayah keberagamaan. Hal ini juga bisa kita baca dalam novel berjudul Les Misérables karya penulis puisi, drama, novelis, esais, moralis, sekaligus tokoh paling penting dalam tradisi aliran Romantisme asal Prancis, Victor-Marie Hugo (1802 – 1885).

Novel bergaya epik, melodrama, otobiografi, dan sejarah ini seakan menyampaikan premis bahwa setiap orang—dalam skala makro berarti kehidupan—memiliki peluang untuk berubah, merangkak pada taraf yang lebih baik dan sempurna. Di sisi lain, novel yang sudah difilmkan dan dibintangi Liam Neeson (Jean Valjean), Uma Thurman (Fantine), serta sederet aktor maupun aktris ternama ini juga terasa menggigit karena kerangka historis, filosofi hidup, bahkan teori politik yang digarap dengan cermat.

Secara khusus, novel ini memotret tetek bengek kehidupan masyarakat Prancis abad 18, tepatnya antara tahun 1789–1832. Di dalamnya, Hugo menampilkan simalakama dunia orang-orang terbuang, termasuk kehidupan seorang tokoh protagonis; Jean Valjean. Bagaimanapun, peperangan dan rasa ketertindasan seringkali diamini sebagai ibu kandung kemelaratan, dekadensi moral, serta—barangkali—suburnya paham imperialisme.

Di tangan Hugo, pembaca akan diperkenalkan dengan sosok utama Jean Valjean; seorang narapidana yang dihukum penjara 19 tahun lamanya gara-gara mencuri sepotong roti dan beberapa tindakan melawan hukum lainnya. Ia dipekerjakan di sebuah kapal kerja paksa yang digambarkan sebagai satu-satunya 'neraka' di dunia ini. Sejak kecil ia telah menghabiskan masa hidupnya dalam dunia yang kejam. Setelah ia melarikan diri dari penjara, ia bersembunyi dari satu tempat ke tempat yang lain.

Namun, ada peristiwa yang cukup menggetarkan pembaca di tengah pelarian dan persembunyiannya itu. Sebuah titik balik atau epifani dalam hidupnya ditentukan oleh seorang uskup. Peristiwa seperti yang dialami Jean Valjean memang sangat mungkin terjadi pada setiap orang. Epifani seolah menjelma sebagai kekuatan sihir yang mampu mengubah perjalanan hidup seseorang seratus delapan puluh derajat.

Jean Valjean mengubah namanya menjadi Monsieur Madeleine dan karena kebaikannya yang "seperti malaikat", ia diangkat menjadi walikota di wilayah Montreuil-sur-mer. Dari kisah itu, Hugo seolah hendak mengatakan kepada pembaca bahwa kehadiran pemimpin seperti inilah yang idealnya dibutuhkan masyarakat. Hugo juga mengontraskan realita ini dengan menghadirkan tokoh polisi, Javert, yang terlalu kaku dalam menjalankan tugasnya.

Tokoh lain yang penting untuk dikenalkan adalah perempuan bernama Fantine dan putrinya, Cosette. Perempuan yang hidup di bawah payung kemiskinan ini nekat menitipkan putrinya yang baru menginjak usia tiga tahun pada seorang pemilik penginapan yang rakus di daerah Montfermeil bernama Thenardier. Keputusan itu terpaksa diambil sebab Fantine menyadari ia harus mencari nafkah untuk mempertahankan hidupnya dan Cosette, bahkan dengan cara yang sangat memilukan sekali; menjual rambut, gigi, hingga bekerja pada sebuah warung remang-remang.

Kejujuran serta kepolosan Fantine—ini yang membuat kita larut dalam emosi—ternyata ditelikung dari belakang oleh Thenardier. Laki-laki itu bekerja sama dengan isterinya untuk memeras Fantine. Pada kenyataannya, Cosette yang dititipkan kepada keluarga Thenardier justru dijadikan 'budak' hingga digambarkan Cosette tampak kurus dan acak-acakan.

Di bagian lain, pembaca juga bisa menyimak perjalanan hidup Marius Pontmercy. Ia adalah putra seorang baron bernama Pontmercy yang sejak kecil hidup di bawah asuhan sang kakek yang berwatak egois, Monsieur Gillenormand. Akan tetapi, saat usianya menginjak remaja, Marius dihadapkan pada dua pilihan; tinggal bersama kakeknya di sangkar emas atau memberontak sama sekali. Akhirnya, jatuhlah Marius pada pilihan kedua. Di luar, ia pun bergabung dengan kelompok ABC; sebuah komunitas pendukung Revolusi Prancis yang digawangi beberapa anak muda.

Peristiwa yang tak kalah serunya adalah kisah cinta unik antara Marius dengan Cosette yang berawal dari pertemuan tak sengaja. Dua anak manusia ini memiliki karakter yang berbeda; Marius digambarkan sebagai laki-laki yang kurang tegas dan gampang terhanyut dalam khayalannya sendiri. Sementara, Cosette adalah gadis remaja yang berkarakter sebaliknya. Sederhananya, ia adalah gadis idaman yang sempurna.

Secara keseluruhan, tampaknya Hugo dalam novel ini sengaja membuat jalinan peristiwa yang—bagi kita—menyerupai sebuah kebetulan yang disengaja. Sejak peristiwa awal hingga akhir, ada indikasi ke arah sana. Ketika pembaca dengan setia mengikuti jalur cerita, peristiwa seperti pertemuan Jean Valjean dengan Cosette, pertemuan Marius dengan tetangga sebelahnya—yang diketahui kemudian bernama Thenardier, atau puncaknya kisah cinta Marius dengan Cosette, semuanya seolah sengaja diarahkan pada satu muara; bertemunya orang-orang yang bernasib sama.

Namun, klimaks dari cerita ini sesungguhnya ditentukan pada pertemuan Jean Vajean, Marius, dan Javert dalam sebuah pertempuran pihak yang pro-Republik dengan pasukan kaisar. Sementara anti-klimaksnya bisa disimak dalam kisah perkawinan antara Marius dengan Cosette, dimana Javert akhirnya mati bunuh diri.

KISAH CINTA MADELINE


Judul Buku : Gandhi Cintaku
Penulis : Sudhir Kakar
Penerjemah : Esti A. Budihabsari
Penerbit : Qanita, Bandung
Cetakan I : Oktober, 2005
Tebal : 353 halaman

Menyimak romantika perjalanan hidup orang-orang yang mendunia namanya baik dalam film atau buku memang mengasyikkan, terlebih jika mereka adalah orang-orang yang menjadi idola kita. Dari kisah-kisah itu kita tak hanya akan belajar banyak hal dalam memaknai setiap peristiwa hidup, namun seringkali tanpa disadari kita akhirnya larut dan merasa terinsprasi. Kecenderungan mengambil inspirasi dari orang lain tersebut telah menjadi watak paling dasar manusia sejak mereka kanak-kanak.

Dari sekian romantika perjalanan hidup manusia yang tampaknya akan menjadi sorotan bahkan bahan obrolan paling menarik sepanjang waktu adalah persoalan cinta. Bagaimanapun, cinta adalah kebutuhan paling privat dan eksistensial bagi setiap orang. Cinta akan selalu hadir dalam suasana riuh redam pun sebaliknya dalam kesepian dan keterasingan. Terlepas apakah ia sebagai pelaku atau sasaran yang menerima cinta dari orang lain, yang jelas mustahil ada orang yang tak pernah merasakan sentuhan cinta.

Melalui novel ini pembaca akan dijamu dengan kisah cinta yang cukup menarik. Mengapa? Sebab kisah dalam novel ini melibatkan figur yang tidak asing lagi bagi kita. Dia adalah pemimpin spiritual dan politikus dari India bernama Mohandas Karamchand Gandhi (2 Oktober 1869 — 30 Januari 1948) atau akrab disapa Mahatma Gandhi. Masa hidupnya yang penuh dengan keprihatinan di tengah warga miskin kumuh menjadi motivasi utama untuk mencapai swaraj atau kemerdekaan. Dalam hal ini boleh dibilang Gandhi adalah salah satu figur paling penting yang terlibat dalam gerakan kemerdekaan India. Ia adalah aktivis yang mengusung gerakan kemerdekaan melalui sejumlah aksi damai.

Dengan segala kesederhanaan yang melekat pada dirinya, Gandhi berjuang secara damai (Satya Graha), tanpa menggunakan kekerasan (Ahimsa), dan selalu hidup mandiri (Swadesi). Ketiga prinsip itu dipegangnya secara teguh hingga di kemudian hari ajaran-ajaran beliau menjadi seruan berarti bagi umat manusia. Kesederhanaan itu pula yang pada akhirnya menuai pujian dari berbagai pihak, termasuk Albert Einstein yang mengatakan bahwa: "Mungkin para generasi berikut akan sulit mempercayai bahwa ada orang seperti ini yang pernah hidup di dunia ini."

Gagasannya menganjurkan sikap non-kooperatif terhadap ideologi imperialisme dan kolonialisme serta menolak diskriminasi rupanya mampu menyedot perhatian masyarakat di seantero dunia yang mendambakan kebebasan dan kemerdekaan, terutama menarik bagi seorang gadis asal London bernama Madeline.

Ditulis oleh Sudhir Kakar, seorang novelis dan psikoanalis asal India, novel yang mengambil style autobiografi ini didasarkan pada kisah nyata yang terjadi selama tahun 1925 hingga 1942 antara Madeline dan Gandhi. Madeline adalah puteri kedua salah seorang perwira Angkatan Laut Inggris yang ditugaskan di markas armada Hindia Timur, Bombay.

Dengan teknik alur maju-mundur, kisah novel ini dibuka dengan menceritakan sosok Madeline. Ia mulai gandrung pada sosok Gandhi setelah membaca biografi beliau dalam bahasa Perancis berjudul Mahatma Gandhi yang ditulis Romain Rolland, seorang penulis dan novelis terkemuka asal Swiss. Tak puas dengan mengenal Gandhi lewat tulisan, Madeline memutuskan untuk menyeberangi samudera dari London menuju Ashram Gandhi; semacam padepokan yang dirintis Sang Mahatma di wilayah Ahmedabed dan berharap bertemu langsung dengan pujaan hatinya.

Di satu sisi, keinginan tersebut bisa dianggap sebagai hal yang wajar. Namun di lain sisi menjadi hal aneh melihat Madeline adalah anak seorang perwira Inggris, dan Inggris saat itu menjadi musuh India. Beruntung kedua orang tuanya adalah sosok yang toleran dan memberi kebebasan pada anak-anaknya untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Merasa mendapat lampu hijau dari mereka, Madeline mulai mempersiapkan diri dengan mempelajari bahasa dan budaya India, termasuk juga ia belajar memintal; suatu aktifitas yang kerap dilakoni Gandhi.

Sesampainya di India, Madeline disambut hangat oleh Gandhi dan dalam waktu beberapa minggu saja ia sudah mendapat perlakuan khusus dari Sang Mahatma. Tak hanya itu, di Ashram tersebut Madeline—yang kemudian namanya berganti Mirabehn—sering mendapat tugas yang biasanya hanya dilakukan oleh orang-orang terdekat Gandhi. Hal ini tentu membuat kecemburuan pada beberapa orang dekat Gandhi.

Selama di India, sosok Gandhi yang cukup kontras dibayangkan rupanya menohok mata Madeline. Tapi hal itu terlanjur menarik rasa simpati serta empatinya yang begitu dalam. Ia takjub betapa perjuangan Gandhi hampir tak mengenal kata putus asa. Untuk mengatasi kegelisahannya itu, Madeline kerap menuangkan emosinya lewat surat atau catatan harian. Hingga pada suatu hari, ia beranikan diri utarakan semua perasaannya pada sang pujaan, Mahatma Gandhi, melalui sebuah surat.

Sayang, Madeline tak menyiapkan diri menerima balasan Gandhi. Cintanya pada Sang Mahatma bertepuk sebelah tangan. Sementara perbedaan persepsi cinta antara keduanya jelas menjadi tabir yang menghalangi cinta itu sendiri. Namun, yang unik dari Madeline adalah kekuatan pribadinya yang mampu merahasiakan segala hal dan dalam hal ini ia bisa disebut sebagai perempuan introvert.

Secara total, novel ini tak hanya memotret petualangan cinta antara Madeline dan Gandhi semata. Sudhir Kakar melalui mulut Aku-narator (guru khusus Madeline) juga tampak lihai berolah imajinasi dan mengeksplorasi kekuatan emosi tokoh-tokoh di dalamnya. Melalui novel ini pula pembaca diajak menyimak romantisme sejarah perjuangan rakyat India pada umumnya.

PERGOLAKAN CINTA ANAK MANUSIA


Judul Novel:Norwegian Wood
Penulis:Haruki Murakami
Penerjemah:Jonjon Johana
Penerbit:KPG, Jakarta
Cetakan I:Juli, 2005
Tebal:iv + 550 halaman


………….
And when I awoke I was alone
This bird had flown
So I lit a fire
Isn't it good Norwegian wood?
--Norwegian Wood; The Beatles

Bait terakhir lirik Norwegian Wood di atas mengilustrasikan kekecewaan seorang laki-laki yang terbuai pada mimpi indah cinta, namun di saat dirinya terjaga mimpi itu pun sirna. Benarkah cinta-meski hanya dalam mimpi-mampu membuat seseorang merasa bahagia tak terperi, dan sebaliknya cinta juga bisa menorehkan luka yang teramat sakit? Apa sebenarnya cinta itu?

Sejak jaman baheula hingga sekarang telah banyak definisi cinta diungkapkan dengan bermacam ekspresi. Mulai dari lagu yang digubah, kata yang dirangkai menjadi bait puisi atau prosa, atau kanvas yang dilukis; semua dilakukan demi mencapai definisi cinta. Sayang, sampai detik ini definisi cinta yang sesungguhnya masih saja tampak nisbi.

Namun, bukan berarti cinta adalah suatu keadaan psikis yang sama sekali tidak dapat dicari rumusannya. Dengan pendekatan ilmiah seperti ilmu psikologi, misalnya, ikhtiar pendefinisian cinta dapat sedikit terbantu. Para pakar psikologi semacam Eric Fromm atau Abraham Maslow pun banyak menyinggung masalah cinta dalam karya-karya mereka.

Seorang psikolog lainnya, Robert Sternberg, pernah berusaha mengurai makna cinta dalam konteks hubungan antara dua manusia dengan mengenalkan konsepnya tentang "segitiga cinta." Menurut Sternberg, cinta harus mengandung tiga unsur primer: yakni, menyatunya suasana intim, gairah, serta komitmen.

Masih menurut Sternberg, cinta adalah sebuah cerita yang ditulis oleh setiap orang. Cerita itu dapat memproyeksikan kepribadian, minat atau perasaan seseorang ketika hendak menjalin suatu hubungan. Setiap unsur itu pada setiap orang berbeda kadarnya. Sedang cinta yang ideal adalah apabila ketiga unsur itu menyatu dalam proporsi yang tepat pada satu waktu tertentu.

Untuk mewujudkan cinta yang semacam ini tampaknya tidaklah mudah. Banyak tebaran cinta di sekitar kita yang umumnya hanya dilandaskan pada suasana intim dan gairah. Akibatnya tak jarang terjadi pereduksian makna bahwa cinta hanyalah sekadar birahi belaka; cinta pada akhirnya hanya mandeg pada idiom senggama dan melestarikan keturunan; cinta hanyalah "sapi perah" manusia.

Dalam sebuah karya sastra, cinta telah menjadi salah satu tema yang banyak menggoda minat para kreator atau pengarang. Di dalamnya cinta menjadi tema yang tak hanya memikat tapi juga menantang. Dengan kepiawaian pengarang mentransformasikan peristiwa faktual menjadi peristiwa fiksional, alhasil imajinasi pembaca di alam bawah sadar pun serta-merta diajak menziarahi ruang-ruang reflektif, bahwa memahami cinta memang bisa ditempuh dengan cara apa saja. Ada cinta yang ternoda oleh darah. Ada pula cinta yang basah berlumuran madu.

Demikian halnya dengan novel Norwegian Wood ini. Haruki Murakami sebagai pengarang mencoba mengeksplorasi cinta melalui perspektif budaya remaja negeri Sakura. Bagaimanapun, problematika remaja selalu menarik untuk dibicarakan; pencarian jati diri dan pemberontakan terhadap kredo-kredo kultur yang sudah mapan.

Haruki Murakami dilahirkan di sebuah kota kecil Kyoto pada 1949 dan besar di Kobe. Bisa dikatakan ia adalah novelis terkemuka Jepang abad-20 yang amat produktif berkarya. Beberapa karyanya yang sudah dipublikasikan antara lain: Hear the Wind Sing (1979), A Wild Sheep Chase (1982), Hard-Boiled Wonderland and the End of the World (1985), Norwegian Wood (1987) Dance, Dance, Dance (1988), The Wind-up Bird Chronicle (1995), The Sputnik Sweetheart (1999). Murakami juga sempat menulis beberapa kumpulan cerita pendek seperti The Elephant Vanishes (1993) dan After the Quake (2002), keduanya dalam tahap transliterasi.

Maka, tak mengherankan jika kemudian Murakami banyak memperoleh penghargaan seperti Noma Literary Award, Tanizaki Prize, dan Yomiuri Literary Award, termasuk Gunzo Prize untuk kategori penulis baru. Tak tanggung-tanggung, demi panggilan hatinya untuk konsisten di dunia kepengarangan, ia memutuskan menjual kafe jazz miliknya dan bertekad hidup sepenuhnya dari menulis.

Dalam novel ini pengarang menciptakan tokoh-tokoh rekaan; Wanatanabe Toru, Naoko, Midori, Nagasawa, dll. Masing-masing pribadi rekaan tersebut memiliki karakter yang kuat serta pandangan hidup yang unik. Keterlibatan emosi pembaca, mau tak mau menjadi salah satu tujuan utama yang hendak dicapai novel bergaya bahasa realisme-romantik ini.

Rampung ditulis pada tahun 1987, novel yang berjudul asli Noruwei no Mori ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Alfred Birnbaum pada tahun 1989. Selanjutnya, novel ini telah diterjemahkan dalam beberapa bahasa dunia; seperti Perancis, Jerman, Amerika, termasuk Indonesia. Kabarnya, dalam satu tahun karya ini telah terjual sebanyak dua puluh tujuh juta eksemplar. Fakta inilah yang mendongkrak pamor Haruki Murakami menjadi salah satu penulis fiksi papan atas, khususnya di Jepang.

Dalam novel ini dikisahkan bahwa tokoh utama, Watanabe Toru, dalam perjalanan terbangnya suatu hari menuju Hamburg mendengar sayup-sayup instrumen musik Norwegian Wood yang dipopulerkan oleh band papan atas asal Inggris, The Beatles. Seketika lagu itu mementikkan api kenangan masa lalunya yang meliputi cinta dan silang sengkarut permasalahan remaja dalam lingkup sosial budaya di negeri sakura akhir tahun 60-an.

Saat itu, Toru yang masih berusia delapan belas tahun tercatat sebagai mahasiswa jurusan seni di salah satu universitas terkemuka di Tokyo. Masa-masa indah saat remaja baginya menjadi masa-masa yang paling mengesankan. Tinggal di asrama, diskusi tentang banyak hal, sampai pada perenungan akan makna hidup.

Layaknya remaja di mana pun, kematangan berfikir memang menjadi salah satu sorotan yang tak pernah surut. Masa remaja sebagai masa transisi meniscayakan beberapa pilihan yang sangat menentukan bagi perjalanan hidup seseorang untuk masa yang akan datang. Begitu pula yang dialami Toru di saat dirinya dihadapkan pada pilihan antara Naoko dan Midori, dua gadis yang selama kuliahnya dianggap mewakili masa silam dan masa depan.

Naoko, gadis yang usianya lebih tua satu tahun di atas usia Toru adalah mantan kekasih mendiang sahabatnya, Kizuki. Mereka-Toru, Kizuki, dan Naoko-semenjak SMU bersahabat secara akrab satu sama lain. Namun, tiba-tiba saja takdir cinta Naoko berujung memilukan; suatu hari Kizuki mati bunuh diri. Tak ayal lagi, peristiwa tersebut membuat perasaan Naoko terpukul.

Meski pada akhirnya Naoko dan Toru pacaran, namun benih-benih duka yang terserak dalam perasaan Naoko lama-lama terkumpul dan meledak bagai bom waktu; Naoko harus masuk rumah sakit rehabilitasi. Di sisi lain, kepergian Naoko ke rumah sakit tersebut membuat batin Toru serasa sunyi, bahkan kesunyian yang sulit untuk dieja dengan kata-kata sekali pun.

Beberapa aktifitas seperti kerja paruh waktu sebagai karyawan toko memang sengaja dilakoni Toru tak hanya untuk mencari tambahan biaya hidup, melainkan untuk membunuh rasa sunyi yang terus mendera. Konflik menjadi cukup dilematis di sini. Di satu sisi, Toru adalah manusia biasa yang setiap saat merindukan hadirnya orang yang sangat disayangi. Namun, di sisi lain ia harus menerima kenyataan bahwa dirinya memang harus menjalani hidup tanpa kekasih, setidaknya untuk sementara waktu.

Pada segmen ini, kedewasaan Toru memang benar-benar diuji. Sayang ia kalah. Pergaulan dengan kawan satu asramanya, Nagasawa, malah menjerumuskan Toru pada dunia hitam. Seks bebas dan minuman keras dalam novel ini menyimbolkan ketidakmatangan psikologi Toru.

Namun, di paruh akhir cerita pengarang tampaknya mengembalikan watak tokoh utama. Toru "dibuat" insaf atas apa yang dilakukannya selama ini. Bahkan, pertemuan kembali Toru dan Naoko jelas menaburkan kembang kegembiraan yang tak terungkapkan. Sayang, kebahagiaan itu tak berlangsung lama sebab direnggut oleh kematian Naoko. Toru menatap kesunyian untuk kedua kalinya.

Teknik penceritaan yang digunakan pengarang sebenarnya cukup simpel dan mudah diprediksi. Jalinan kisahnya cenderung mengalir begitu saja ditambah pengolahan imaji yang cukup apik. Dapatlah dikatakan novel ini berhasil mempengaruhi emosi pembaca dengan pernik-pernik peristiwa di dalamnya yang setiap saat mungkin hadir di dalam diri maupun sekitar kita. Peristiwa-peristiwa semacam ini di satu sisi dapat memberi efek reflektif pada seseorang tentang bagaimana sebaiknya ia bersikap dan bertindak dalam menempuh kehidupannya sendiri, termasuk dalam soal cinta.

Sisi lain yang menjadikan novel ini layak dipuji adalah sikap pengarang dengan kehalusan bertutur mengkritik kondisi sosio-kultur masyarakat Jepang (bahkan masyarakat Timur lainnya) yang sudah mulai tergusur oleh Westernisasi. Seks bebas, minuman keras, dan perilaku neurotik masyarakat Timur adalah kenyataan yang tak bisa dipungkiri menggerogoti lifestyle kita.

KISAH MELAWAN MAFIA


Judul : Liu Hulan; Jaring-Jaring Bunga
Judul Asli : Flower Net
Penulis : Lisa See
Penerjemah : Utti Setiawati
Penerbit : Qanita, Bandung
Cetakan I : Januari, 2006
Tebal : 639 halaman

Setelah sukses mengorbitkan novel pertamanya, On Gold Mountain (1995), Lisa See—sang penulis—kembali menuai banyak pujian dari berbagai kalangan dengan hadirnya karya Flower Net (1997). Karya ini mendapat beberapa penghargaan, termasuk Edgar Award untuk nominasi karya thriller terbaik. Selanjutnya ada The Interior (2000), Dragon Bones (2001)—keduanya adalah kelanjutan dari Flower Net, serta novel teranyarnya, Snow Flower and the Secret Fan baru dirilis pada akhir Juni 2005.

Novel Flower Net yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Liu Hulan; Jaring-Jaring Bunga ini adalah sebuah kisah thriller yang dipenuhi aroma action. Dengan setting dua negara, Cina dan Amerika, Lisa See—yang mengaku seandainya gagal jadi penulis, bercita-cita menjadi arsitek—juga memadukan dua kebudayaan yang berbeda. Hal ini juga tidak terlepas dari darah Cina sekaligus keakraban yang dibangun Lisa dengan kebudayaan mereka, khususnya dengan orang-orang di Chinatown.

Amerika, dalam novel ini, sepertinya menjadi simbol Barat yang dikenal liberal dan cenderung tidak menyukai basa basi. Sementara, Cina adalah salah satu negara di wilayah Asia yang menampilkan karakteristik khas masyarakat Timur yang setia memegang teguh kultur serta tradisi turun temurun. Ciri lain yang juga dimiliki masyarakat Timur adalah mereka lebih dikenal menyukai basa basi daripada berterus terang, to the point.

Selain itu, eksplorasi sejarah dan budaya Cina modern dalam gaya bahasa bernas serta plot yang ketat, menjadikan novel ini lebih bernuansa Chinesse yang sangat eksotis ketimbang American. Unsur-unsur karakter maupun narasi di dalamnya digarap dengan cermat serta padat.

Dalam novel ini, Lisa menceritakan kehidupan tokoh sentral perempuan bernama Liu Hulan yang bekerja di Kementerian Keamanan Publik berpangkat inspektur polisi. Ia adalah perempuan yang lahir dari keluarga terpandang. Ayahnya menjabat sebagai Wakil Menteri.

Jika kita menilik sejarah Cina untuk sejenak, terutama pada masa Revolusi Kebudayaan negeri itu, nama Liu Hulan di kepala orang-orang Cina memiliki sejarahnya sendiri. Ia adalah sosok hero yang tidak mungkin mereka lupakan begitu saja. Seorang pahlawan perempuan muda yang gugur pada tahun 1950-an di tangan tentara Kuomintang, rival politik Mao Zedung.

Bagi Lisa, karakter perempuan atau setidaknya mengangkat isu perempuan memang menjadi ciri khas karya-karyanya. Tampaknya, ia secara sengaja mempersoalkan inferioritas perempuan dalam budaya Cina. Bahkan, ketika negeri Tirai Bambu itu hidup di era kekinian, fenomena superioritas kaum Adam masih saja mudah dijumpai. Bisa dikatakan, karya-karya Lisa juga mewakili sastra kaum feminis abad 21.

Dikisahkan, sebagai inspektur polisi yang bekerja di Kementerian Keamanan Publik, Liu Hulan ditugaskan menguak kasus kematian anak Dubes AS untuk Cina, Bill Watson. Mayat pemuda bernama Billy Watson itu ditemukan di sebuah danau beku di taman Bei Hai, Beijing, dalam kondisi organ dalam tubuhnya hancur, serta kuku dan gigi menghitam.

Belum sempat kasus tersebut terkuak, beberapa hari kemudian tersebar berita sebuah kasus pembunuhan. Namun, kali ini kasusnya berada jauh di perairan California. Sesosok mayat pemuda ditemukan tewas mengenaskan di sebuah kapal pengangkut imigran gelap, Peony. Belakangan diketahui pemuda yang tewas itu adalah Guang Henglai, putra orang paling penting di Cina, Guang Mingyun.

Penemuan dua mayat di dua negara berbeda didukung adanya kemiripan modus operandi membuat kedua negara dituntut melibatkan polisi, penyelidik, serta intelijen untuk secepat mungkin dapat menguak siapa otak di balik layar. Dari kasus kriminal murni, tewasnya dua anak orang penting tersebut justru merembet pada wilayah politis. Secara tak langsung, hubungan Cina-Amerika terancam menjadi hubungan dingin.

Ada dugaan remang-remang bahwa pembunuhan tersebut direncakan secara matang oleh kelompok Rising Phoenix. Di pihak Amerika Serikat, seorang jaksa penuntut bernama David Stark ditugaskan terbang ke Cina dan berduet dengan Liu Hulan. Awalnya mereka merasa kesulitan ketika terjun langsung ke lapangan. Namun, metode Jaring-Jaring Bunga yang dipakai Liu Hulan tampak membuahkan hasil. Lambat laun motif kedua pembunuhan tersebut terkuak. Rupanya, alasan bisnis ilegal perdagangan empedu beruang yang ironisnya melibatkan pejabat negara Cina-Amerika itulah penyebabnya. Bahkan di akhir cerita dikisahkan bahwa ayah Liu Hulan sendiri terlibat dalam konspirasi tersebut.

Namun, ada kisah lain yang menarik perihal duet Stark dan Hulan. Di tengah-tengah cerita, pembaca akan dikejutkan dengan kisah romantis dua anak manusia tersebut. Ternyata keduanya pernah terlibat dalam jalinan cinta serius ketika Liu Hulan dan David Stark masih sama-sama kuliah di Amerika.

Dan, lebih mengejutkan lagi setelah belasan tahun perpisahan mereka, benih-benih cinta itu belum juga hilang. Namun, sekali lagi, dengan kelihaian Lisa membangun karakter serta ketatnya plot, novel ini memperlakukan romantisme sebagai penyedap cerita. Tampak pula Lisa tidak ingin mengaburkan tujuan semula kedua tokohnya untuk menyelesaikan tugas penyelidikan.

Demikian halnya dengan eksplorasi sejarah masa lalu Cina terutama pada masa Revolusi Kebudayaan serta kultur khas orang-orang Cina pada beberapa jengkal narasi dan dialog. Bagi Lisa, hal itu hanya sekadar pemanis cerita yang tidak menggoyang struktur narasi.

Pada akhirnya, suguhan Lisa yang pernah dikalungi penghargaan sebagai National Woman of The Year oleh Organisasi Wanita Cina-Amerika (2001) ini memang layak disantap tak hanya oleh para pecinta novel misteri, melainkan bagi siapa saja yang berminat mengenal sejarah dan kebudayaan Cina secara lebih akrab.

25 Januari 2008

ZIARAH SPIRITUAL ARMSTRONG


Judul Buku: Menembus Langit, Memoar Spiritual Seorang Muslimah Australia
Penulis: Amatullah Armstrong
Penerjemah: Miranda Risang Ayu, dkk.
Penerbit: Arasy, Bandung
CetakanI : Agustus, 2005
Tebal: 325 halaman

Pengalaman seseorang dalam mengarungi hidup adalah harta termahal yang paling dibanggakan. Semakin banyak pengalaman didapat, semakin kaya wawasan serta pelajaran dimilikinya. Pada puncaknya, peluang merengkuh kearifan hidup dengan sendirinya terbuka lebar.

Tapi, dari sekian banyak pengalaman hidup, rupanya pengalaman spiritual menjadi salah satu pengalaman menarik yang tak bisa diabaikan begitu saja. Dengan lain kata, pengalaman spiritual selalu menyisakan impresi mendalam pada setiap individu yang mengalami.

Kenyataan itu tampaknya betul-betul mengilhami Amatullah Armstrong untuk menulis memoar ini. Di sini, penulis mengumpulkan keping-keping kenangan setelah berpuluh tahun melakukan ziarah spiritual mencari kebenaran sejati di jalan tasawuf, kemudian menarasikannya kembali dengan bahasa lugas.

Dengan menyisipkan syair para penyair sufi dan teori para ahli yang sudah diakui, seperti; Sayyed Hossein Nasser, Idris Syah, Annemarie Schimmel, William C. Chittik, dll., Armstrong tak hanya mereproduksi gagasan-gagasan mereka melainkan mencoba merekonstruksi syair-syair sufisme atau gagasan-gagasan itu pada pengalaman pribadinya.

Amatullah Armstrong—sebelum masuk Islam—adalah perempuan yang lahir di Australia pada 1948 dan dibesarkan dalam lingkungan Kristen. Ia lahir dengan nama kecil Jyly. Secara ekonomi, kedua orangtuanya termasuk dalam golongan kelas menengah di negeri Kanguru tersebut. Meski dibesarkan dalam lingkungan non-muslim dengan pendidikan formal agama Kristen yang biasa saja, secara tak langsung Armstrong kecil telah mengenal tasawuf sejak kecil.

Hal itu bermula dari lingkungan keluarganya sendiri. Ayahnya adalah seorang pengagum karya-karya sastra, khususnya puisi. Bahkan salah satu penyair yang paling dikaguminya adalah Umar Khayyam. Laki-laki itu mengajarkan banyak hal tentang kehidupan serta karya para penyair tersebut hingga tak mustahil kelak di saat Armstrong menginjak dewasa, pelajaran itu menjadi penentu jalan hidupnya.

Selanjutnya, ada sebuah peristiwa penting yang terjadi pada 1956 saat Armstrong berusia delapan tahun. Suatu hari, ketika Armstrong masih tercatat sebagai siswi SD Connels Point yang terletak di bagian selatan Sydney, guru sekolahnya membacakan sebuah sajak yang berisi kisah Abou ben Adhem (baca: Ibrahim bin Adham) untuk para murid kelas itu.

Peristiwa lain yang tak kalah menerakan impresi mendalam dan senantiasa terpenjara dalam memori Armstrong adalah saat dirinya menginjak usia enam belas tahun. Suatu hari, di usianya yang tergolong belia itu di sebuah bioskop, Armstrong dan kedua orangtuanya menyaksikan pemutaran film berjdul Lawrence of Arabia. Dari sinilah persentuhannya dengan dunia Arab dimulai.

Tapi, layaknya remaja sebaya lainnya—bahkan saat dirinya masuk kuliah jurusan seni di East Sydney Technical College—Armstrong tak banyak mengabaikan peristiwa yang telah menyentuh sisi terdalam hidupnya itu kecuali sedikit sekali yang ia lakukan untuk merespons pengamatannya. Kehidupan sehari-harinya bahkan mengalir begitu saja bersama trend yang sedang merebak; mengikuti les balet kemudian menjadi beatlemania (penggila band pop The Beatles asal Inggris). Sayang, semua itu bersifat temporer. Ketika di satu masa suatu peristiwa fenomenal berlangsung, peristiwa tersebut belum tentu bertahan pada masa yang lain.

Begitu pula sejak ia menikah dengan seorang seniman, praktis kehidupannya tak jauh dari urusan seni. Berbagai eksperimentasi karya ia lakukan bersama sang suami. Ia telah melalang buana dari Australia hingga daratan Eropa dan Afrika Utara. Pada masa-masa inilah kenangan pertamanya berjumpa dengan tasawuf dan negeri Arab dari film Lawrence of Arabia sedikit demi sedikit bangkit dari "kuburnya".

Bagaimanapun, Armstrong ternyata menyadari kekeringan jiwanya saat itu. Apa yang ia lakukan ternyata tak mampu memberi ketenangan bagi jiwanya. Selama hidup berpindah dari satu negara ke negara lain, Afrika Utara lah yang paling berkesan. Di negeri ini, tepatnya di wilayah Tunisia, Armstrong berkenalan dengan seorang muslim setempat. Tak pelak, dari perkenalan itu ia mulai belajar banyak hal tentang Islam secara mendalam.

Sekembalinya ke Autralia, Armstrong dan suami tinggal di Tasmania. Di tempat baru itu rasa penasarannya akan Islam ibarat air deras yang sulit dibendung. "Hidup selama 33 tahun di negeri Barat dan jauh dari kekayaan dan keindahan Islam," tuturnya, "bukan sesuatu yang tidak lazim. Ketika Islam memasuki hidupku, aku berjuang di antara standar hidup yang selalu berubah dari gaya hidup Australia tempat aku dilahirkan, dan kedalaman tradisi Islam yang menarik hatiku. Pertentangan batin itu berlangsung selama dua tahun" (hlm. 27)

Akhirnya, pada suatu hari dengan segenap tekad bulat Armstrong mendeklarasikan keislamannya di Islamic Centre di Fitzroy, Sandy Bay, Hobart. Beberapa waktu kemudian sang suami pun mengikuti jalan Amstrong, menjadi seorang muslim. Tapi, perjalanan spiritual Armstrong dengan segala suka-dukanya tak behenti sampai di sini.

Dari berbagai informasi yang ia baca baik dari buku maupun diskusi dengan sesama muslim, Armstrong lebih cenderung tertarik dengan konsep tasawuf. Tentu hal ini sangat beralasan jika dilacak dari masa kecilnya; betapa ayahnya yang pengagum karya-karya puisi, serta sebuah puisi sufi yang pernah dibacakan gurunya semasa SD telah memberi kesan signifikan.

Tepat di usia empat puluh satu tahun (tahun 1990), di hadapan seorang mursyid—guru spiritual—di Australia, Armstrong ditahbiskan dalam sebuah tarekat sufi al-Burhaniyyah al-Dasuqiyyah al-Syadzaliyyah yang didirikan oleh Syaikh Abu Hasan al-Syadzili. Namun, ziarah spiritualnya dalam tarekat itu rupanya tak semudah dibayangkan. Banyak tradisi yang terasa berat bagi muallaf semacam Armstrong. Harus meninggalkan kecintaan yang berlebihan pada duniawi, misalnya, adalah salah satu ciri utama ajaran tasawuf. Alunan musik Beethoven yang jadi musik favoritnya harus rela ditukar dengan alunan wirid dan dzikir. "Rute dari puisi Abou Adhem hingga tarekat betapa panjang dan berliku," demikian tulis Armstrong dan tampaknya menjadi sebuah pengakuan jujur darinya.

Meski demikian, kegigihan Armstrong mencari kebenaran di jalan tarekat ini memang layak diacungi jempol dengan asumsi bahwa ia adalah seorang perempuan "Barat" yang lahir dan hidup di lingkungan non-muslim. Tak tanggung-tanggung, Bernard Bethell dalam pengantar memoar ini pun turut memuji. "Inilah kisah sejati yang menggugah tentang seorang perempuan asli Australia dalam mencari kebenaran. Semoga dapat menjadi inspirasi, baik bagi orang muslim maupun non-muslim," tulisnya.

MEMAKNAI TRADISI ZIARAH


Judul Buku : Ziarah & Wali di Dunia Islam
Judul Asli : Le Culte des Saints dans Le Monde Musulman
Penulis : Henri Chambert-Loir & Claude Guiilot
Penerbit : Serambi & Ecole Francaise d’Extreme-Orient Forum Jakarta-Paris
Cetakan : I, April 2007
Tebal : 588 Halaman

Fenomena ziarah, entah itu ziarah ke makam wali atau kerabat, mempunyai tradisi yang berakar panjang dalam sejarah perkembangan agama Islam. Sampai kini, ziarah dan kewalian menjadi tradisi Islam yang hidup. Di sela gegap-gempita modernitas, wali-wali dalam Islam adalah manusia yang telah melampaui batas kemanusiaan. Mereka dianggap pewaris spiritual nabi dan makam mereka kerap dipandang sebagai kutub-kutub suci atau cabang-cabang Mekah.

Buku Ziarah & Wali di Dunia Islam ini memaktubkan sejumlah tulisan dan telaah menarik dari para sarjana Prancis ihwal fenomena dan tradisi ziarah makam wali dalam dunia Islam, sejak dari kawasan Magribi (Aljazair, Moroko, Tunisia), Irak, Mesir, Sudan, Afrika Barat, Iran, India, Bangladesh, Pakistan, India, Turki dan Asia Tengah, Balkan, Tiongkok, hingga makam Sunan Gunung Djati di Cirebon dan makam Kiai Telingsing di Jawa Tengah.

Buku ini menarik, sekaligus unik, karena seluruh telaah di dalamnya secara informatif mengungkap bagaimana fenomena tradisi ziarah makam para wali senantiasa merepresentasikan sintesa agama dan konteks kulturnya dalam panorama keberbagaian, yang sekaligus bermuara menjadi sesuatu yang global dan universal, yakni pemaknaan orang suci (wali) dan jejak biografinya yang menjadi tempat suci.

Makam Sunan Gunung Djati di Cirebon misalnya, tulis Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot dalam pendahuluan buku ini, adalah tempat pengungkapan perasaan religius yang bebas serta tempat memelihara ritus-ritus kuno. Jika amal sembahyang di masjid mencerminkan keseragaman dunia Islam, maka amal ziarah ke makam wali mencerminkan keanekaragaman budaya yang tercakup dalam dunia Islam. Makam wali, menurut penulis, adalah juga tempat pelarian, tempat orang merasa bebas dari berbagai paksaan, dan tempat merenungkan nasibnya, juga tempat berlindung bagi pengelana, dan sebagainya (hlm. 9).

Mengesampingkan terlebih dulu sejumlah kritik dan keberatan terhadap fenomena tradisinya, ziarah ke makam para wali, diakui atau tidak, telah membawa ingatan kita pada segenap hubungan antara orang suci dan tempat suci dalam pemaknaan waktu dan ruangnya. Tak ada satu pun tempat suci dalam tradisi ritus agama-agama besar yang tidak berhubungan dengan peristiwa bersejarah dalam hidup orang-orang suci, sebutlah nabi dan rasul. Tempat atau tanah suci inilah yang kemudian tak sekadar dipercaya sebagai kutub dari seluruh kesadaran transenden, namun juga berkaitan dengan ihwal identitas.

Penyebaran Islam ke berbagai belahan dunia telah membuat tanah suci (Mekah) semakin jauh dan mistis, sehingga membuat umatnya menciptakan tempat-tempat suci baru yang dianggap cerminan dari tanah suci yang sebenarnya. Karena itulah, menurut penulis, sesungguhnya hanya ada satu tempat saja yang ditunjuk oleh sejarah sebagai tanah suci, tetapi umat terus memperbanyak jumlah itu, sambil menyucikan negerinya masing-masing dan menciptakan peta kesucian baru (hlm. 12).

Dan proses penghadiran peta kesucian baru ini meniscayakan hubungannya dengan identitas pengeramatan manusia yang kemudian disebut sebagai wali. Oleh karena dalam Islam tidak ada lembaga yang bertugas mengesahkan kewalian, maka masyarakatlah yang mengangkatnya menjadi wali dan ini erat kaitannya dengan jaringan kehidupan tarekat sebagai kutub dari seluruh identifikasi orang suci.

Dalam hal inilah Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot memandang bagaimana para wali membentuk sebuah jaringan rantai panjang yang melalui fenomena pengeramatannya, menghubungkan para peziarah dengan sang penerima wahyu Ilahi. Setiap wali akhirnya menjadi leluhur baru buat satu marga, satu desa, satu daerah, bahkan satu bangsa. Seorang wali dan makamnya yang dikeramatkan dibayangkan menjadi mediator antara hari ini dan masa lalu, antara orang kebanyakan dan Rasulullah saw. sebagai kutub dari kesadaran atas orang-orang suci.

Seluruh prosesi ritus di makam para wali dan letak geografisnya sebagai tempat suci amat kuat dipengaruhi oleh penafsiran ihwal alam sebagai ruang sakral. Penulis mencontohkan bahwa, nyaris seluruh makam keramat di Jawa cenderung berada di atas bukit untuk menjelaskan pemaknaan simboliknya dalam khazanah budaya lokal. Dan tradisi ziarah dalam konteks ini menjelaskan apa yang dimaksud penulis; tradisi dalam pemaknaannya sebagai media pengatur memori kolektif (hlm. 27).

Di samping itu, hal yang selalu terdapat di berbagai tempat suci umat Islam adalah keberadaan air keramat yang diyakini mengalir dari masa lampau bersama kesucian tempat itu. Hal ini, mungkin, untuk mengutuhkan seluruh replika tentang Mekah dengan keberadaan air zamzamnya.

Bagi para peziarah, berdoa dan bertirakat di tempat suci adalah ikhtiar untuk berkomunikasi dengan isyarat ketuhanan yang tak terjangkau. Namun seluruh ikon, relik, dan prosesi ritual di tempat yang dikeramatkan itu, sekonyong-konyong menjadi medium yang mentransformasikan ruang kekinian yang profan ke dalam waktu dan ruang masa lalu yang penuh mistis dan suci. Menjadi bagian dan luluh ke dalam semesta misteri kegaiban tempat-tempat suci adalah juga bagian dari bagaimana identitas itu dimaknai. Tak sedikit tempat suci yang dipercaya sebagai pusat atau poros dunia. Pusat atau poros dimaksud lebih menekan pada poros kesadaran dan bersifat komunal.

Dalam konteks ini, penulis menilai bahwa sakralitas di berbagai makam wali tidak lagi melulu karena hubungannya dengan masa lalu, tapi karena ribuan orang berkonsentrasi di tempat itu sehingga memancarkan energi spiritual. Makam wali dan para peziarah, akhirnya, adalah pertemuan yang kerap menakjubkan tentang bagaimana tradisi dan identitas itu dimaknai.

Hal menarik dari buku bertebal 588 halaman ini adalah bahwa, tersajinya kritik dari kelompok yang mengecam praktik ziarah di setiap kawasan, dari Ibn al-Jauzi dan Ibn Taymiyah pada abad ke-12 sampai ke-13, Ibn Abd al-Wahhab, Rashid Rida, dan Sayyid Qutb pada abad ke-19 sampai ke-20, yang menganggap ziarah sebagai praktik syirik.

Akhirnya, berbeda dengan buku akademik lainnya, buku yang dilengkapi gambar dan peta ini mudah dan asyik diikuti. Suguhan informasinya sangat berharga, baik bagi peneliti, sejarawan, antropolog, maupun pelaku ziarah itu sendiri.

SKETSA BURAM PEREMPUAN PINGGIRAN


Judul : Somewhere Home
Penulis : Nada Awar Jarrar
Penerjemah : Catherine Natalia
Penerbit : Qanita, Bandung
Cetakan I : Januari 2007
Tebal : 284 halaman

Potret diskriminasi terhadap hak-hak perempuan memang telah banyak diangkat dalam berbagai bentuk media, tak terkecuali dalam karya sastra. Sastra menawarkan ruang sunyi untuk merefleksikan segala peristiwa dalam hidup manusia. Sastra juga kerap dijadikan media yang ampuh untuk melawan segala bentuk ketimpangan karena salah kaprahnya sistem yang berlaku di tengah masyarakat.

Di negara-negara berkembang, hak-hak perempuan di wilayah-wilayah strategis memang belum sepenuhnya mendapat perhatian. Secara tak langsung ini menandakan hadirnya imperialisme gender yang sama-sama sadis. Jika kita menyimak histori bangsa Arab jahiliyah, kehadiran anak perempuan dianggap sebagai aib bagi sebuah keluarga. Tak jarang ada yang beranggapan bahwa kehadiran perempuan merupakan alamat buruk.

Pada wilayah perlawanan semacam ini sastra biasanya akan bermain dengan sangat garang, meledak-ledak, serta penuh peristiwa-peristiwa monumental. Kita mengenal Nawal el Sadawi, sastrawati asal Mesir yang begitu meledak-ledak dalam setiap karyanya. Namun berbeda dengan karya yang satu ini, para penikmat sastra akan diajak menyimak perlawanan para perempuan Lebanon yang berjuang mendapatkan hak-haknya sebagai seorang perempuan di tengah-tengah masyarakat, sebagai istri bagi suami, maupun sebagai ibu dari anak-anak mereka. Novelis berdarah Lebanon-Australia, Nada Awar Jarrar, menggunakan setting Lebanon saat pecah perang saudara dalam novel ini. Perang memang selalu menyisakan persoalan kemanusiaan yang rumit serta memiliki dampak luas.

Secara teknis, novel ini dituturkan dengan teknik bercerita yang unik. Jarrar yang pernah mendapat penghargaan Shortlisted For The Common Wealth Writers Prze 2004 atas karya ini terlihat lebih halus dalam menyampaikan pemberontakannya dibanding Nawal. Namun, pembaca akan mengalami kesulitan pada alur yang melompat, seolah bisa ditebak bahwa pengarang mencoba mengabaikan penggunaan alur yang runtut. Pembaca dibebaskan menangkap ide tersirat dalam setiap paragraf.

Novel berjudul Somewhere Home ini dituturkan dalam tiga bagian. Pada bagian pertama, pengarang yang menetap di Lebanon ini mendeskripsikan satu persatu persoalan empat tokohnya; Maysa, Alia, Saeeda, dan Leila. Teknik penceritaan berbingkai dalam novel ini sangat terasa sekali ketika Maysa tak hanya menceritakan orang-orang selain dirinya, tapi ia juga menceritakan dirinya dari sudut “orang lain.”

Maysa yang menjadi narator dalam novel ini adalah cucu Alia. Ia menetap di pusat Kota Beirut. Namun perang saudara yang pecah mengusirnya pindah ke lereng gunung Lebanon. Maysa menikah dengan Wadih dan dikaruniai seorang anak perempuan, Yasmeen. Saat anaknya beranjak dewasa, Maysa ditimpa kesedihan mendalam karena putri satu-satunya tinggal bersama sang bapak di sebuah apartemen di Kota Beirut. Kesepian yang dirasakan Maysa memercikkan perlawanan dalam bentuk lain. Maysa melarikan diri pada ritual-ritual agama. Di lain sisi, tindakan Maysa ini merupakan kritik yang menarik. Di saat manusia menuai keterpurukan, mereka akan berbalik merengek pada Tuhan.

Berbeda dengan Maysa, Alia yang dinikahi Ameen hidup pada masa tradisi masih menjadi mainstream yang tak bisa diganggu gugat. Bahkan pernikahan mereka telah didesain tanpa ada pertemuan sebelumnya. Pada masa selanjutnya, sebagai ibu dari lima anak yang ditinggal suaminya merantau ke Afrika, Alia merasakan beratnya beban sebagai single parent. Ia dituntut untuk mengasuh anak-anaknya dengan naluri kelembutan seorang ibu, di sisi lain Alia juga harus berperan sebagai “ayah” yang mengajarkan kemandirian pada anak-anaknya.

Dalam wilayah budaya, Jarrar memotret perbedaan pola hidup penduduk pedesaan yang mendiami lereng gunung Lebanon dengan penduduk perkotaan. Jarrar juga menampilkan benturan yang terjadi dalam pertemuan dua kultur; Barat dan Timur. Ia mengilustrasikan hal itu dalam tokoh Leila dan Adel. Keduanya yang mahir bercakap-cakap menggunakan bahasa Prancis menjadi “tontonan yang aneh” di mata orang sesepuh Alia.

Pesan lain yang bisa dicerna dalam novel ini adalah perihal perbedaan kesenjangan status sosial. Jarrar menggambarkan bagaimana kehidupan anak-anak (Sara, Aida, dan Dina) bertemu dengan Amou Mohammed, paman mereka yang hidup di kamp pengungsian bersama anak dan isterinya. Amou Mohammed adalah salah satu dari pengungsi Palestina. Perang, sekali lagi, telah mencuatkan dampak yang tidak kecil. Kesenjangan status sosial bukan tidak mungkin menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja.

Secara khusus, novel ini berhasil membangun kritik atas marjinalisasi kaum perempuan bukan dengan cara berteriak-teriak, melainkan disajikan dengan style berbeda. Jarrar tampak begitu tekun menggali tradisi lokal. Meski ia memotret Lebanon sebagai setting, persoalan seperti ini sesungguhnya merupakan persoalan global. Jarrar mengisahkan para perempuan yang terpinggirkan oleh konservatifitas tradisi lokal, modernitas, serta tokoh-tokoh yang tersiksa oleh janji-janji dan romantisisme.

Dalam ungkapan yang lebih lugas, Jarrar mengajak kita untuk melihat perempuan tidak sekadar sebagai obyek dalam segala aspek kehidupan. Perempuan mesti diberi ruang gerak sejauh mereka sanggup mempertanggung jawabkan segala keputusan yang dibuat, sebagaimana juga kaum laki-laki. Di luar itu, terjemahan yang apik menjadikan novel ini kaya dengan ungkapan-ungkapan baru.

PETUALANGAN FANTASTIS PUTRI CIMORENE


Judul: Tantangan Naga, Kisah-Kisah Dari Hutan Pesona I
Penulis: Patricia C. Wrede
Penerjemah: Fahmy Yamani
Penerbit: Kaifa, Bandung
Cetakan: I, Agustus 2004
Tebal: 293 halaman (biodata penulis)

Mungkin, kisah dalam novel ini memang konyol; sangat fiktif, penuh fantasi melambung, kemudian diramu begitu saja dengan nuansa humor yang dikontraskan bersama sejumlah aksi menegangkan. Bagaimana tidak, seorang putri cantik yang hidup bergelimang segala fasilitas serba lux dalam istana, justru lebih memilih kabur dari rumah gara-gara persoalan remeh temeh, yakni ketika keinginannya untuk belajar memainkan pedang serta menguasai mantra, ditentang ayah bundanya. Keduanya berargumentasi bahwa hal tersebut tidak layak untuk dilakukan oleh anak perempuan dan menyalahi “kredo” tradisi. Dari sinilah konflik demi konflik dalam cerita ini bermula.

Putri itu bernama Cimorene (tokoh sentral dalam kisah ini), adalah putri bungsu seorang raja yang menguasai wilayah Linderwall. Meski kerajaan tersebut tersohor dengan segala gemah ripah loh jinawi-nya, toh pada kenyataannya hal itu membuat Cimorene merasa terkurung dalam puri emas yang dibangun orangtuanya. Ia tidak sepakat dengan pilihan-pilihan yang diberikan oleh mereka, mulai dari perintah belajar bahasa Latin, memasak, melempar bola hingga urusan privacy berkaitan dengan perjodohan dirinya. Yang lebih menyebalkan lagi di mata sang putri yang tomboy ini adalah saat diketahui ibu perinya “bermain mata” dengan kedua orangtuanya, dan pangeran Therandil, calon tunangannya, tampak susah dibujuk untuk mengakui ketidaksediaan menikahi dirinya.

Saat menghadapi situasi “genting” seperti ini, Cimorene nyaris patah arang. Tapi tokoh yang diciptakan Patricia (baca: pengarang) ini bukanlah sosok yang bodoh dan mudah kalut begitu saja menghadapi persoalan pelik serta rumit. Setelah gagal membujuk Therandil, Cimorene pergi ke taman istana. Gadis itu menggerutu, “Mendingan aku dimakan naga saja.” (hlm. 22). Suara lirih bernada nervous itu didengar oleh seekor kodok yang kemudian memberinya jalan keluar. Cimorene sepakat. Suatu malam sang putri ini dengan cara mengendap keluar dari istana. Mengikuti petunjuk yang pernah diberikan si kodok.

Cimorene sampai di sebuah gubuk reot di suatu pegunungan yang asing. Tak salah lagi, itulah gubuk seperti yang pernah dikatakan kodok dalam kolam istana. Cimorene tidak ragu-ragu menghampirinya. Namun betapa terkejutnya ia setelah tahu bahwa makhluk yang menghuninya adalah beberapa ekor naga. Melihat kedatangan putri yang jelita itu, di antara naga-naga sempat terjadi ribut-ribut kecil. Salah satunya berinisiatif untuk memakan sang putri. Cimorene ngeri. Perdebatan antara Cimorene dengan para naga itu berakhir setelah seekor naga secara tiba-tiba datang. Ia bernama Kazul. Seekor naga betina yang kelak menjadi “orangtua angkat” Cimorene.

Sejak diangkat sebagai putri, semakin tampak kecerdasaan Cimorene di mata naga Kazul. Tidak seperti putri-putri naga yang lain, Cimorene bukanlah tipe gadis pemalas. Ia pandai memasak, khususnya membuat puding ceri, gemar membaca, bersih-bersih, dsb. Ia juga pandai merayu. Lambat laun, kabar tentang Cimorene yang hidup bersama seekor naga tersiar sampai ke kerajaan Linderwall. Sang raja, ayah Cimorene, menjanjikan setengah wilayah kerajaan kepada para kesatria yang mampu membawa sang putri kembali ke istana. Namun tak ada satu pun yang berhasil, termasuk pangeran Therandil sendiri. Semuanya gagal bahkan takjub dengan pendirian Cimorene yang enggan diajak pulang.

Memutuskan hidup bersama naga barangkali bukan ide yang waras di mata semua orang. Namun sikap itu menjadi salah satu kepuasan tersendiri bagi Cimorene. Apalagi di situ akhirnya ia berkenalan dengan seorang penyihir perempuan baik hati bernama Morwen yang tinggal di Hutan Pesona, tiga orang putri tawanan masing-masing; Keredwel (dari kerajaan Raxwel), Hallana (dari kerajaan Ponbauth), dan Alianora (dari Duchy di Toure-on-Marsh), serta seorang pangeran batu. Dua orang terakhir kemudian menjadi sahabat sejati Cimorene. Tapi, realita tidak seluruhnya mewartakan kegembiraan. Di tempat itu, Cimorene tidak hanya dihadapkan dengan persoalan rumit para naga, melainkan dihadapkan pula dengan dunia magis para penyihir jahat yang suka membuat onar dan mengutuk para kesatria menjadi batu, kodok, atau apa saja. Dua penyihir laki-laki yang paling jahat bernama Zemenar (Kepala Perkumpulan Penyihir) dan Antorell (anak Zemenar). Keduanya akhirnya bisa dimusnahkan oleh Cimorene c.s. dengan siraman air sabun dicampur lemon.

Beberapa hari sebelum keduanya dimusnahkan, di jagad para naga tengah terjadi semacam upaya kudeta. Raja yang sah, naga Tokoz, diketahui mati diracun saat menikmati kopi Turki. Siapa aktornya masih menjadi teka-teki. Pemilihan raja baru pun harus sesegera mungkin dilaksanakan. Masing-masing naga yang mencalonkan diri jadi raja secara bergiliran harus mengangkat batu Colin dari Jalur Penyeberangan Ular Berbisik di dalam Hutan Pesona menuju Gunung Menghilang.

Kisah ini berakhir bahagia (happy ending) berupa kemenangan naga Kazul dalam pemilihan raja baru menggantikan raja Tokoz, mengalahkan naga Woraug dan seekor naga lainnya. Dinobatkanlah raja yang sah, naga Kazul (meski ia sendiri bejenis kelamin betina). Belakangan, kecurigaan Cimorene akan adanya persekongkolan antara naga Woraug dengan para penyihir ternyata benar terbukti. Kematian raja Tokoz memang ada sangkut pautnya dengan naga Woraug dan ulah para penyihir.

Kemenangan naga Kazul dalam pemilihan raja baru pada gilirannya menyisakan keprihatinan serta kesedihan tersendiri di benak Cimorene. Belum lagi dua sahabatnya, putri Alianora dan pangeran batu telah memutuskan untuk meninggalkan dirinya demi menempuh hidup baru di daerah yang baru pula. Namun, semua kesedihan itu terobati. Raja Kazul tetap mempersilahkan putrinya, putri Cimorene untuk tinggal bersama.

Banyak teka-teki yang belum terjawab dalam kisah ini, misalnya tentang nasib kerajaan Linderwall, keadaan pangeran Therandill, dsb. Sedang mengenai nasib Cimorene bersama raja naga Kazul, di halaman akhir novel ini disebutkan bahwa kisah ini masih berlanjut dalam novel karangan Patricia yang lain.

Meski demikian, inilah dunia cerita, dunia rekaan semata. Dunia yang diciptakan dari kata-kata dan imajinasi kreatif pengarang. Fantasi yang dibangun oleh Patricia memang terasa berlebihan bagi orang sedewasa dia. Namun, justru di situlah letak kekuatan novel ini sesungguhnya. Sisi lain kelebihan novel ini terletak pada pesan-pesan moral yang disampaikan. Bagi pembaca yang menggemari cerita fantasi semacam Harry Potter, putri Cinderella atau yang sejenis, kisah ini pasti tak kalah menarik dan menjadi tantangan yang sayang untuk dilewatkan. Setidaknya, saat Anda menikmati waktu senggang dengan makan kacang, novel ini cocok untuk dijadikan sebagai kawan.