Tampilkan postingan dengan label Jawa Pos. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jawa Pos. Tampilkan semua postingan

25 Januari 2008

ZIARAH SPIRITUAL ARMSTRONG


Judul Buku: Menembus Langit, Memoar Spiritual Seorang Muslimah Australia
Penulis: Amatullah Armstrong
Penerjemah: Miranda Risang Ayu, dkk.
Penerbit: Arasy, Bandung
CetakanI : Agustus, 2005
Tebal: 325 halaman

Pengalaman seseorang dalam mengarungi hidup adalah harta termahal yang paling dibanggakan. Semakin banyak pengalaman didapat, semakin kaya wawasan serta pelajaran dimilikinya. Pada puncaknya, peluang merengkuh kearifan hidup dengan sendirinya terbuka lebar.

Tapi, dari sekian banyak pengalaman hidup, rupanya pengalaman spiritual menjadi salah satu pengalaman menarik yang tak bisa diabaikan begitu saja. Dengan lain kata, pengalaman spiritual selalu menyisakan impresi mendalam pada setiap individu yang mengalami.

Kenyataan itu tampaknya betul-betul mengilhami Amatullah Armstrong untuk menulis memoar ini. Di sini, penulis mengumpulkan keping-keping kenangan setelah berpuluh tahun melakukan ziarah spiritual mencari kebenaran sejati di jalan tasawuf, kemudian menarasikannya kembali dengan bahasa lugas.

Dengan menyisipkan syair para penyair sufi dan teori para ahli yang sudah diakui, seperti; Sayyed Hossein Nasser, Idris Syah, Annemarie Schimmel, William C. Chittik, dll., Armstrong tak hanya mereproduksi gagasan-gagasan mereka melainkan mencoba merekonstruksi syair-syair sufisme atau gagasan-gagasan itu pada pengalaman pribadinya.

Amatullah Armstrong—sebelum masuk Islam—adalah perempuan yang lahir di Australia pada 1948 dan dibesarkan dalam lingkungan Kristen. Ia lahir dengan nama kecil Jyly. Secara ekonomi, kedua orangtuanya termasuk dalam golongan kelas menengah di negeri Kanguru tersebut. Meski dibesarkan dalam lingkungan non-muslim dengan pendidikan formal agama Kristen yang biasa saja, secara tak langsung Armstrong kecil telah mengenal tasawuf sejak kecil.

Hal itu bermula dari lingkungan keluarganya sendiri. Ayahnya adalah seorang pengagum karya-karya sastra, khususnya puisi. Bahkan salah satu penyair yang paling dikaguminya adalah Umar Khayyam. Laki-laki itu mengajarkan banyak hal tentang kehidupan serta karya para penyair tersebut hingga tak mustahil kelak di saat Armstrong menginjak dewasa, pelajaran itu menjadi penentu jalan hidupnya.

Selanjutnya, ada sebuah peristiwa penting yang terjadi pada 1956 saat Armstrong berusia delapan tahun. Suatu hari, ketika Armstrong masih tercatat sebagai siswi SD Connels Point yang terletak di bagian selatan Sydney, guru sekolahnya membacakan sebuah sajak yang berisi kisah Abou ben Adhem (baca: Ibrahim bin Adham) untuk para murid kelas itu.

Peristiwa lain yang tak kalah menerakan impresi mendalam dan senantiasa terpenjara dalam memori Armstrong adalah saat dirinya menginjak usia enam belas tahun. Suatu hari, di usianya yang tergolong belia itu di sebuah bioskop, Armstrong dan kedua orangtuanya menyaksikan pemutaran film berjdul Lawrence of Arabia. Dari sinilah persentuhannya dengan dunia Arab dimulai.

Tapi, layaknya remaja sebaya lainnya—bahkan saat dirinya masuk kuliah jurusan seni di East Sydney Technical College—Armstrong tak banyak mengabaikan peristiwa yang telah menyentuh sisi terdalam hidupnya itu kecuali sedikit sekali yang ia lakukan untuk merespons pengamatannya. Kehidupan sehari-harinya bahkan mengalir begitu saja bersama trend yang sedang merebak; mengikuti les balet kemudian menjadi beatlemania (penggila band pop The Beatles asal Inggris). Sayang, semua itu bersifat temporer. Ketika di satu masa suatu peristiwa fenomenal berlangsung, peristiwa tersebut belum tentu bertahan pada masa yang lain.

Begitu pula sejak ia menikah dengan seorang seniman, praktis kehidupannya tak jauh dari urusan seni. Berbagai eksperimentasi karya ia lakukan bersama sang suami. Ia telah melalang buana dari Australia hingga daratan Eropa dan Afrika Utara. Pada masa-masa inilah kenangan pertamanya berjumpa dengan tasawuf dan negeri Arab dari film Lawrence of Arabia sedikit demi sedikit bangkit dari "kuburnya".

Bagaimanapun, Armstrong ternyata menyadari kekeringan jiwanya saat itu. Apa yang ia lakukan ternyata tak mampu memberi ketenangan bagi jiwanya. Selama hidup berpindah dari satu negara ke negara lain, Afrika Utara lah yang paling berkesan. Di negeri ini, tepatnya di wilayah Tunisia, Armstrong berkenalan dengan seorang muslim setempat. Tak pelak, dari perkenalan itu ia mulai belajar banyak hal tentang Islam secara mendalam.

Sekembalinya ke Autralia, Armstrong dan suami tinggal di Tasmania. Di tempat baru itu rasa penasarannya akan Islam ibarat air deras yang sulit dibendung. "Hidup selama 33 tahun di negeri Barat dan jauh dari kekayaan dan keindahan Islam," tuturnya, "bukan sesuatu yang tidak lazim. Ketika Islam memasuki hidupku, aku berjuang di antara standar hidup yang selalu berubah dari gaya hidup Australia tempat aku dilahirkan, dan kedalaman tradisi Islam yang menarik hatiku. Pertentangan batin itu berlangsung selama dua tahun" (hlm. 27)

Akhirnya, pada suatu hari dengan segenap tekad bulat Armstrong mendeklarasikan keislamannya di Islamic Centre di Fitzroy, Sandy Bay, Hobart. Beberapa waktu kemudian sang suami pun mengikuti jalan Amstrong, menjadi seorang muslim. Tapi, perjalanan spiritual Armstrong dengan segala suka-dukanya tak behenti sampai di sini.

Dari berbagai informasi yang ia baca baik dari buku maupun diskusi dengan sesama muslim, Armstrong lebih cenderung tertarik dengan konsep tasawuf. Tentu hal ini sangat beralasan jika dilacak dari masa kecilnya; betapa ayahnya yang pengagum karya-karya puisi, serta sebuah puisi sufi yang pernah dibacakan gurunya semasa SD telah memberi kesan signifikan.

Tepat di usia empat puluh satu tahun (tahun 1990), di hadapan seorang mursyid—guru spiritual—di Australia, Armstrong ditahbiskan dalam sebuah tarekat sufi al-Burhaniyyah al-Dasuqiyyah al-Syadzaliyyah yang didirikan oleh Syaikh Abu Hasan al-Syadzili. Namun, ziarah spiritualnya dalam tarekat itu rupanya tak semudah dibayangkan. Banyak tradisi yang terasa berat bagi muallaf semacam Armstrong. Harus meninggalkan kecintaan yang berlebihan pada duniawi, misalnya, adalah salah satu ciri utama ajaran tasawuf. Alunan musik Beethoven yang jadi musik favoritnya harus rela ditukar dengan alunan wirid dan dzikir. "Rute dari puisi Abou Adhem hingga tarekat betapa panjang dan berliku," demikian tulis Armstrong dan tampaknya menjadi sebuah pengakuan jujur darinya.

Meski demikian, kegigihan Armstrong mencari kebenaran di jalan tarekat ini memang layak diacungi jempol dengan asumsi bahwa ia adalah seorang perempuan "Barat" yang lahir dan hidup di lingkungan non-muslim. Tak tanggung-tanggung, Bernard Bethell dalam pengantar memoar ini pun turut memuji. "Inilah kisah sejati yang menggugah tentang seorang perempuan asli Australia dalam mencari kebenaran. Semoga dapat menjadi inspirasi, baik bagi orang muslim maupun non-muslim," tulisnya.

PETUALANGAN FANTASTIS PUTRI CIMORENE


Judul: Tantangan Naga, Kisah-Kisah Dari Hutan Pesona I
Penulis: Patricia C. Wrede
Penerjemah: Fahmy Yamani
Penerbit: Kaifa, Bandung
Cetakan: I, Agustus 2004
Tebal: 293 halaman (biodata penulis)

Mungkin, kisah dalam novel ini memang konyol; sangat fiktif, penuh fantasi melambung, kemudian diramu begitu saja dengan nuansa humor yang dikontraskan bersama sejumlah aksi menegangkan. Bagaimana tidak, seorang putri cantik yang hidup bergelimang segala fasilitas serba lux dalam istana, justru lebih memilih kabur dari rumah gara-gara persoalan remeh temeh, yakni ketika keinginannya untuk belajar memainkan pedang serta menguasai mantra, ditentang ayah bundanya. Keduanya berargumentasi bahwa hal tersebut tidak layak untuk dilakukan oleh anak perempuan dan menyalahi “kredo” tradisi. Dari sinilah konflik demi konflik dalam cerita ini bermula.

Putri itu bernama Cimorene (tokoh sentral dalam kisah ini), adalah putri bungsu seorang raja yang menguasai wilayah Linderwall. Meski kerajaan tersebut tersohor dengan segala gemah ripah loh jinawi-nya, toh pada kenyataannya hal itu membuat Cimorene merasa terkurung dalam puri emas yang dibangun orangtuanya. Ia tidak sepakat dengan pilihan-pilihan yang diberikan oleh mereka, mulai dari perintah belajar bahasa Latin, memasak, melempar bola hingga urusan privacy berkaitan dengan perjodohan dirinya. Yang lebih menyebalkan lagi di mata sang putri yang tomboy ini adalah saat diketahui ibu perinya “bermain mata” dengan kedua orangtuanya, dan pangeran Therandil, calon tunangannya, tampak susah dibujuk untuk mengakui ketidaksediaan menikahi dirinya.

Saat menghadapi situasi “genting” seperti ini, Cimorene nyaris patah arang. Tapi tokoh yang diciptakan Patricia (baca: pengarang) ini bukanlah sosok yang bodoh dan mudah kalut begitu saja menghadapi persoalan pelik serta rumit. Setelah gagal membujuk Therandil, Cimorene pergi ke taman istana. Gadis itu menggerutu, “Mendingan aku dimakan naga saja.” (hlm. 22). Suara lirih bernada nervous itu didengar oleh seekor kodok yang kemudian memberinya jalan keluar. Cimorene sepakat. Suatu malam sang putri ini dengan cara mengendap keluar dari istana. Mengikuti petunjuk yang pernah diberikan si kodok.

Cimorene sampai di sebuah gubuk reot di suatu pegunungan yang asing. Tak salah lagi, itulah gubuk seperti yang pernah dikatakan kodok dalam kolam istana. Cimorene tidak ragu-ragu menghampirinya. Namun betapa terkejutnya ia setelah tahu bahwa makhluk yang menghuninya adalah beberapa ekor naga. Melihat kedatangan putri yang jelita itu, di antara naga-naga sempat terjadi ribut-ribut kecil. Salah satunya berinisiatif untuk memakan sang putri. Cimorene ngeri. Perdebatan antara Cimorene dengan para naga itu berakhir setelah seekor naga secara tiba-tiba datang. Ia bernama Kazul. Seekor naga betina yang kelak menjadi “orangtua angkat” Cimorene.

Sejak diangkat sebagai putri, semakin tampak kecerdasaan Cimorene di mata naga Kazul. Tidak seperti putri-putri naga yang lain, Cimorene bukanlah tipe gadis pemalas. Ia pandai memasak, khususnya membuat puding ceri, gemar membaca, bersih-bersih, dsb. Ia juga pandai merayu. Lambat laun, kabar tentang Cimorene yang hidup bersama seekor naga tersiar sampai ke kerajaan Linderwall. Sang raja, ayah Cimorene, menjanjikan setengah wilayah kerajaan kepada para kesatria yang mampu membawa sang putri kembali ke istana. Namun tak ada satu pun yang berhasil, termasuk pangeran Therandil sendiri. Semuanya gagal bahkan takjub dengan pendirian Cimorene yang enggan diajak pulang.

Memutuskan hidup bersama naga barangkali bukan ide yang waras di mata semua orang. Namun sikap itu menjadi salah satu kepuasan tersendiri bagi Cimorene. Apalagi di situ akhirnya ia berkenalan dengan seorang penyihir perempuan baik hati bernama Morwen yang tinggal di Hutan Pesona, tiga orang putri tawanan masing-masing; Keredwel (dari kerajaan Raxwel), Hallana (dari kerajaan Ponbauth), dan Alianora (dari Duchy di Toure-on-Marsh), serta seorang pangeran batu. Dua orang terakhir kemudian menjadi sahabat sejati Cimorene. Tapi, realita tidak seluruhnya mewartakan kegembiraan. Di tempat itu, Cimorene tidak hanya dihadapkan dengan persoalan rumit para naga, melainkan dihadapkan pula dengan dunia magis para penyihir jahat yang suka membuat onar dan mengutuk para kesatria menjadi batu, kodok, atau apa saja. Dua penyihir laki-laki yang paling jahat bernama Zemenar (Kepala Perkumpulan Penyihir) dan Antorell (anak Zemenar). Keduanya akhirnya bisa dimusnahkan oleh Cimorene c.s. dengan siraman air sabun dicampur lemon.

Beberapa hari sebelum keduanya dimusnahkan, di jagad para naga tengah terjadi semacam upaya kudeta. Raja yang sah, naga Tokoz, diketahui mati diracun saat menikmati kopi Turki. Siapa aktornya masih menjadi teka-teki. Pemilihan raja baru pun harus sesegera mungkin dilaksanakan. Masing-masing naga yang mencalonkan diri jadi raja secara bergiliran harus mengangkat batu Colin dari Jalur Penyeberangan Ular Berbisik di dalam Hutan Pesona menuju Gunung Menghilang.

Kisah ini berakhir bahagia (happy ending) berupa kemenangan naga Kazul dalam pemilihan raja baru menggantikan raja Tokoz, mengalahkan naga Woraug dan seekor naga lainnya. Dinobatkanlah raja yang sah, naga Kazul (meski ia sendiri bejenis kelamin betina). Belakangan, kecurigaan Cimorene akan adanya persekongkolan antara naga Woraug dengan para penyihir ternyata benar terbukti. Kematian raja Tokoz memang ada sangkut pautnya dengan naga Woraug dan ulah para penyihir.

Kemenangan naga Kazul dalam pemilihan raja baru pada gilirannya menyisakan keprihatinan serta kesedihan tersendiri di benak Cimorene. Belum lagi dua sahabatnya, putri Alianora dan pangeran batu telah memutuskan untuk meninggalkan dirinya demi menempuh hidup baru di daerah yang baru pula. Namun, semua kesedihan itu terobati. Raja Kazul tetap mempersilahkan putrinya, putri Cimorene untuk tinggal bersama.

Banyak teka-teki yang belum terjawab dalam kisah ini, misalnya tentang nasib kerajaan Linderwall, keadaan pangeran Therandill, dsb. Sedang mengenai nasib Cimorene bersama raja naga Kazul, di halaman akhir novel ini disebutkan bahwa kisah ini masih berlanjut dalam novel karangan Patricia yang lain.

Meski demikian, inilah dunia cerita, dunia rekaan semata. Dunia yang diciptakan dari kata-kata dan imajinasi kreatif pengarang. Fantasi yang dibangun oleh Patricia memang terasa berlebihan bagi orang sedewasa dia. Namun, justru di situlah letak kekuatan novel ini sesungguhnya. Sisi lain kelebihan novel ini terletak pada pesan-pesan moral yang disampaikan. Bagi pembaca yang menggemari cerita fantasi semacam Harry Potter, putri Cinderella atau yang sejenis, kisah ini pasti tak kalah menarik dan menjadi tantangan yang sayang untuk dilewatkan. Setidaknya, saat Anda menikmati waktu senggang dengan makan kacang, novel ini cocok untuk dijadikan sebagai kawan.

LIMA SOLUSI MENGOLAH MIMPI


Judul : Metode Mewujudkan Mimpi, 5 Keterampilan Utama Untuk
Mewujudkan Cita-Cita
Penulis : Paul Levesque & Art McNeil
Penerjemah : Ibnu Setiawan
Penerbit : Kaifa, Bandung
Cetakan I : Februari, 2005
Tebal : 262 halaman plus indeks

Pada dasarnya semua orang memiliki impian-impian atau cita-cita yang sangat bervariatif. Menjadi milyader, karier yang meroket, menjadi sastrawan besar, sampai cita-cita berhenti merokok, dsb., adalah sebagian kecil contoh kasus yang mudah dijumpai setiap hari di sekeliling kita. Yang cukup menggembirakan, ternyata setiap individu tersebut memiliki peluang sama besarnya demi meraih cita-citanya asalkan mereka memiliki kemampuan mengembangkan keterampilan tertentu.

Jika dicermati, masyarakat kita sebenarnya penuh dengan orang-orang yang memiliki pengetahuan akan tetapi sedikit sekali yang memiliki keterampilan khusus melakukan suatu usaha secara sistematis demi mewujudkan cita-cita tersebut. Kelemahan ini tentu saja menjadi salah satu kendala utama yang cukup serius dan perlu dicari solusinya.

Secara tradisional, banyak orang memandang kesuksesan yang mereka raih tergantung pada tiga faktor utama, yakni: bakat, keterampilan, dan ambisi. Bahkan pada beberapa kasus, kebanyakan orang menambahkan faktor keberuntungan (lucky) sebagai faktor keempat.

Melalui buku ini, kita akan menemukan perspektif lain yang mampu membangkitkan semangat bagaimana meraih impian-impian itu. Perspektif tradisional yang selama ini berkembang agaknya harus menepi untuk sementara waktu. Yang perlu digaris bawahi dalam karya yang ditulis oleh dua pakar konsultasi ini, Paul Levesque & Art McNeil, adalah bahwa karya ini tidak serta merta diperoleh dari keajaiban yang turun dari langit begitu saja.

Sebagaimana diakui sendiri oleh penulisnya, materi yang ditawarkan buku ini—yang diistilahkan kemudian dengan lima Keterampilan Makro—bermula dari ketekunan penulis melakukan observasi dan bimbingan kepada para klien yang datang kepada mereka dari berbagai latar belakang pekerjaan. Segala proses penggalian materi ini memang berjalan secara evolutif tetapi tidak mengurangi mutu yang dikandungnya.

Lima Keterampilan Makro yang ditawarkan itu antara lain; pertama, keniscayaan adanya aspirasi pada setiap individu. Aspirasi yang dimaksud di sini adalah adanya ide utama atau keinginan yang paling mendasar, seperti keinginan-keinginan yang telah dicontohkan pada paragraf pertama di atas. Tentu saja, keinginan yang paling mendasar ini menjadi mutlak adanya sebab dari keinginan tersebut kita akan ‘dipaksa’ meretas upaya-upaya untuk mencapai kesuksesan.

Kedua, adanya motivasi. Jika keinginan tersebut sudah tertanam kuat dalam benak kita, langkah selanjutnya adalah bagaimana membangun motivasi. Sebab, tanpa motivasi ini, mimpi tetaplah mimpi dan hanya akan menjadi omong kosong. Hal lain yang perlu dihindari dalam proses membangun motivasi ini adalah menyabotase diri. Kita dituntut optimis dan untuk bersedia membuka diri pada apa dan siapa saja. Sebab, siapa tahu motivasi yang kita cari justru datang dari orang lain (keluarga, pacar, kawan, dsb.).

Ketiga, adanya proyeksi. Proyeksi di sini, oleh penulis, diartikan sebagai kelincahan seseorang mengaitkan hari ini dengan hari esok. Intinya adalah tuntutan bagaimana menggunakan waktu sebaik-baiknya. Keterampilan Makro selanjutnya adalah adanya sikap inklusi.

Sikap ini menuntut keterlibatan orang lain dan hampir mirip dengan Keterampilan Makro tingkat dua. Artinya, dalam mencapai Impian Besar kita dituntut untuk mau bekerja sama dengan orang lain dalam menyelesaikan masalah. “Tak usah segan bertanya, tapi jangan terlalu banyak memberi tahu,” itulah prinsip dasar Keterampilan Makro tingkat empat ini.

Keterampilan Makro yang terakhir adalah adanya aplikasi. Jika langkah pertama sampai langkah keempat sudah dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah menerjemahkan ide yang tersimpan dalam otak menjadi tindakan nyata. Keterampilan Makro kelima ini pada umumnya mengajarkan semua pelajaran yang jarang kita dapati dari teori mana pun, melainkan melalui pelatihan-pelatihan dan lewat pengalaman langsung. Ketika menanjak pada tahap ini, seseorang yang hendak mengolah mimpinya menjadi kenyataan haruslah punya prinsip dasar, yaitu rasa optimis.

Alhasil, buku yang ditulis dengan gaya bahasa yang lugas dan mengalir ini akan cukup membantu siapa saja yang ingin meraih impian-impiannya. Kelebihan lain buku ini adalah penyantuman biografi singkat beberapa orang sukses yang sudah mendunia namanya, seperti Winston Churchill, Walt Disney, Oprah Winfrey, dsb. pada setiap akhir bab.

KISAH-KISAH BIJAK DARI INDIA


Judul : Hikayat Kalilah & Dimnah: Fabel-Fabel Alegoris
Penulis : Baidaba
Penerjemah : Wasmukan
Penerbit : Pustaka Hidayah, Bandung
Cetakan : I, Maret 2004
Tebal : 377 halaman.

Seandainya Baidaba jadi dihukum mati oleh raja Dabsyalim, maka buku yang berisi kisah-kisah penuh kearifan ini tidak akan hadir di tangan pembaca. Beruntunglah suatu hari sang raja berubah pikiran dan menyuruh para pengawal kerajaan untuk menghadirkan kembali Baidaba di hadapan sang raja. Kemudian raja berkata: “..aku ingin dan senang bila engkau menulis kitab untukku dengan bahasa yang fasih dan baik. Engkau bisa mencurahkan seluruh pikiran dan akalmu untuk menulis suatu kitab yang secara lahir merupakan politik bagi masyarakat umum dan mendidik mereka untuk taat kepada sang raja, sedangkan bagian dalamnya merupakan akhlak para penguasa dan politik mereka terhadap rakyat yang dipimpinnya.” (hlm. 37)

Baidaba adalah salah seorang filosof India yang hidup pada abad ke- 3 M. Ia berasal dari kasta Brahmana, kasta tertinggi dalam tradisi Hindu. Sebagai seorang bijak, ia disegani, dihormati, bahkan ditakuti karena kekuatan jiwanya yang ajaib dan memancar ke dunia. Dalam hal ini, Baidaba berbeda dengan para filosof Barat yang lebih mengedepankan upaya kritisisme nalar manusia.

Jika kita telusuri lebih jauh, India termasuk salah satu negeri besar yang memiliki fabel terkenal; selama Abad Pertengahan banyak kisah-kisahnya yang masuk ke Eropa. Semangat dan kecerdasan dalam kisah-kisah itu menjadikan pokok-pokok pelajaran tersebut mudah diingat.

Cara mentransformaikan pengetahuan seperti itu memang tidak dapat dipisahkan dari bahasa sebagai media tunggalnya. Adanya metafor, kiasan dan alegori, tentu bukan hanya sebagai asesoris belaka, tetapi alat vital untuk menyampaikan makna. Fabel hanyalah salah satu dari sekian banyak cara untuk menjadikan pelajaran yang ingin disampaikan melekat dan meresap di kepala setiap orang yang membacanya. Namun, tak jarang dalam kisah-kisah tersebut terkesan lucu dan kasar yang merefleksikan hukum riba yang keras dalam kehidupan manusia.

Pada kisah Tikus dan Kucing Hutan (hlm. 273), misalnya, kita dapat mengambil pelajaran bahwa dua musuh bebuyutan sangat mungkin menjadi sekutu, jika kepentingan kedua belah pihak sama. Hampir mirip dengan kisah kartun Tom and Jerry yang sudah tak asing bagi kita. Atau, sebuah persahabatan berbalik menjadi perseteruan apabila salah satu pihak telah menodainya, seperti pada kisah Kalilah dan Dimnah yang menjadi judul buku ini.

Tentang etika berpolitik, dalam tradisi masyarakat Hindu-India terdapat ungkapan bahwa raja harus selalu menjadi subjek seperti ibu terhadap anak kandungnya. Seperti seorang ibu, yang tidak mempedulikan objek-objek paling menarik pun bagi dirinya, hanya melihat kebaikan pada anaknya, demikian juga seharusnya sang raja bersikap. Artinya, seorang penguasa (Raja) yang baik adalah penguasa yang dapat mengayomi dan melayani rakyatnya, bukan justru sebaliknya bertindak kejam, menindas, dan menyengsarakan rakyat.

Ada semacam keharusan mutlak bagi penguasa di India untuk memperhatikan nasihat para Brahmana dan orang-orang tua dalam komunitasnya; mereka dianggap sebagai suara tatanan tradisional. Meskipun begitu, tidak ada kekuasaan yang mutlak yang dapat menghentikan penguasa jika dia memilih untuk mengabaikan nasihat mereka.

Hal inilah kemudian yang melandasi Baidaba untuk meluruskan jalan sang Raja. Maka suatu hari, ia mengumpulkan para muridnya dan mengajak mereka berfikir bersama mencari alternatif yang terbaik untuk mengingatkan penyelewengan kekuasaan yang dilakukan oleh sang Raja.

Tak dapat disangkal, sebuah kearifan dapat menjadi kekuasaan jika hal itu dapat mengubah, mengendalikan dan membentuk kepribadian manusia seutuhnya. Mahatma Gandhi, misalnya, yang tidak cuma dikenal dan dimiliki oleh masyarakat India, tetapi seluruh masyarakat dunia sebab keseharian hidupnya yang asketis dan aktifitas politiknya.

Para pemikir Eropa abad ke-18 menganggap kearifan sebagai penghalau kegelapan menjadi sebab masyarakat yang sempurna, mulia dan suci. Oleh karena itu, seorang bijak tentu tidak hanya layak untuk diibaratkan sebagai ensiklopedi suara manusia, mereka bukan sekedar “kamus” kebijakan yang bisa bergerak.

Buku Baidaba yang berjudul Hikayat Kalilah dan Dimnah: Fabel-Fabel Alegoris dan disusun dalam lima belas bab ini merupakan salah satu buku yang berisi nasihat-nasihat bijak yang dikemas dalam cerita-cerita binatang bagi para penguasa pada umumnya. Di dalamnya tidak hanya menyinggung persoalan etika berpolitik. Bagi kaum awam, buku ini juga menyingkap bagaimana idealnya sebuah persahabatan yang sejati dan menjalani hidup mulia.

Fabel Alegoris yang ditulis oleh Bidaba ini menjadi sumber kekayaan spiritual dan kearifan yang unik dan tiada habis-habisnya. Penuturan kisah-kisah di dalamnya yang sastrais telah menunjukkan betapa tradisi kesusastraan India memang layak diperhitungkan. Kisah-kisah dalam buku ini merupakan salah satu contoh khas dari melimpah-ruahnya fabel India tentang kearifan berpolitik, bersahabat, dan masih banyak lagi falsafah kehidupan manusia tentang kebenaran hakiki.

__________________
tulisan ini adalah tulisan bersejarah buatku

19 Januari 2008

Persinggungan Mitos dan Sejarah


Judul Buku : Putri Cina
Penulis : Sindhunata
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama (GPU), Jakarta
Cetakan : I, September 2007
Tebal : 304 Halaman


Sastra adalah roh kebudayaan. Ia lahir dari proses kegelisahan sastrawan atas kondisi masyarakat dan terjadinya ketegangan atas kebudayaannya. Sastra sering juga ditempatkan sebagai potret sosial. Ia mengungkapkan kondisi masyarakat pada masa tertentu. Dari sanalah, sastra memberi pemahaman yang khas atas situasi sosial, kepercayaan, ideologi, dan harapan-harapan individu yang sesungguhnya merepresentasikan kebudayaan bangsanya.

Dalam konteks itulah, membaca sastra suatu bangsa pada hakikatnya tidak berbeda dengan usaha memahami kebudayaan bangsa yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, mempelajari kebudayaan suatu bangsa tidak akan lengkap jika keberadaan kesusastraan bangsa yang bersangkutan diabaikan. Begitu pula dalam novel Putri Cina karya terbaru Sindhunata ini, yang tidak hanya merepresentasikan kondisi sosial pada zaman tertentu, tetapi juga menyerupai pantulan perkembangan pemikiran dan kebudayaan masyarakatnya.

Semula, novel ini merupakan katalog berjudul Babad Putri Cina yang ditulis untuk mengiringi Pameran Lukisan Putri Cina, karya Hari Budiono, pada bulan Mei 2006, namun Sindhunata memperdalam dan mengembangkan lagi ide dan ceritanya. Selain itu, sebagaimana diakuinya dalam pengantar, untuk cerita mengenai Jaka Prabangkara dalam novel ini, Sindhunata menimba ilham dari buku Menyurat Yang Silam Menggurat Yang Menjelang karya Nancy K. Florida (2003).

Novel setebal 304 halaman ini mengambil sudut cerita perjalanan seorang putri Cina yang hidup di tanah Jawa. Di situ perpaduan antara kebudayaan Jawa dan Cina diuraikan dengan amat memikat. Persinggungan antara fakta dan fiksi tentang kaum peranakan dibuat sangat indah. Sindhunata berhasil memadukan pertalian cerita pewayangan yang amat dikenal di dalam kebudayaan Jawa dengan kebudayaan Cina yang sudah berkembang turun-temurun di tanah Jawa.

Tentu bukan kebetulan bahwa sang pengarang adalah seorang keturunan Cina kelahiran Malang, Jawa Timur, yang mengalami dan menggeluti kebudayaan Cina dalam praktek sehari-hari. Dan bukan kebetulan pula bahwa dalam perjalanannya, sang pengarang ternyata sangat akrab dengan kebudayaan Jawa, terutama cerita wayang.

Dalam novel yang sebagian ceritanya pernah dipentaskan ketoprak dalam lakon “Putri Cina”, yang naskahnya ditulis oleh Indra Tranggono ini, Sindhunata melancarkan kritik sekaligus sebuah refleksi bagi siapa saja, tak peduli Cina atau Jawa, namun sebenarnya pada setiap manusia, bahwa setiap upaya manusia untuk memiliki atau mengejar impian selalu diikuti dengan naluri untuk menjadi lupa diri. Yang dalam bahasa Jawa, melik nggendong lali: hasrat ingin memiliki selalu membuat orang lupa diri.

Secara garis besar, novel ini menggambarkan peralihan kekuasaan di tanah Jawa yang selalu berlumur darah dan pengkhianatan. Ketika raja tak mampu menghadapi beragam persoalan, akan selalu diperlukan kambing hitam. Identitas menjadi permainan politik. Di situ, memakukan identitas tunggal tak hanya berbahaya, tetapi juga kejam. Manusia terus mengulang sejarah itu dalam konteks politik yang berbeda-beda. Pemerkosaan terhadap perempuan etnis Cina juga terjadi waktu itu dan sejarah kontemporer mencatat pengambinghitaman etnis Cina sejak tahun 1740.

Karena itu, cerita dalam novel ini, yang hendak disuarakan Sindhunata, tak lebih sebagai sekadar alur besar, yang menjadi sampiran bagi bercabang-cabang kisah lainnya, yang jauh lebih penting. Misalnya, bahwa kisah mengenai perempuan sudah tentu disertai pembicaraan mengenai penderitaan dan pengorbanan. Apalagi kalau subjek kisah itu adalah perempuan Cina, yang sudah diketahui sejak berabad-abad lamanya telah banyak dikorbankan dan dikambinghitamkan.

Setidaknya, ada dua putri Cina dalam novel ini. Yang pertama adalah putri Cina yang diceraikan Prabu Brawijaya, ibu dari Raden Patah, penguasa baru Tanah Jawa yang kelak menggulingkan sang ayah. Dia membawa Tanah Jawa menapaki zaman baru, dan oleh para wali diminta menjadi jembatan antara Jawa Lama menuju Jawa Baru, antara agama lama menuju agama baru. Putri Cina lainnya adalah Giok Tien, pemain ketoprak Sekar Kastubo.

Hampir setengah bagian terakhir novel ini mengeksplorasi kisah Giok Tien, termasuk kisah cintanya dengan pemuda Jawa bernama Setyoko, suami, yang kelak menjadi Senapati Gurdo Paksi di Kerajaan Pedang Kemulan Baru. Sesungguhnya, kisah mereka tidak berhenti sampai di situ. Ketika Giok Tien dan Gurdo Paksi mati di depan kuburan Giok Hong dan Giok Hwa, berubahlah mereka berdua menjadi sepasang kupu-kupu, yang terbang dengan riang ke angkasa, menuju ke utara. Tak kelihatan lagi, mana yang Cina mana yang Jawa. Kupu-kupu itu bukan kupu-kupu Cina atau kupu-kupu Jawa. Kupu-kupu itu adalah kupu-kupu cinta yang mempersatukan mereka berdua, Cina dan Jawa.
Sindhunata berhasil meramu mitos dan sejarah bergulat menjadi kenyataan hidup. Misalnya, peran Eng Tay yang dilakonkan Giok Tien dalam ketoprak Sam Pek-Eng Tay adalah lakon hidupnya sendiri. Cinta yang mengikat, cinta pula yang memisahkan. Seperti kesia-siaan. Akan tetapi, adakah kesia-siaan ketika kita menyaksikan kupu-kupu cinta tak lagi memisahkan Jawa dan Cina, kupu-kupu kuning yang mati di utara, memanggil hujan yang menyegarkan dan menyuburkan tanah; kupu-kupu Putri Cina yang mengubah bunga-bunga kematian menjadi kehidupan dan menaburkan permata berupa buah-buah doa ke seluruh dunia?

Dengan cara bertuturnya yang khas, Sindhunata akan membawa pembacanya ke dalam sebuah alam, di mana mitos dan kenyataan historis sedemikian bersinggungan tanpa pernah terpisahkan. Di sini sejarah seakan hanyalah panggung, tempat tragika mitos mementaskan dirinya. Dengan amat menyentuh, novel ini berhasil melukiskan, bagaimana di panggung sejarah yang tragis itu cinta sepasang kekasih yang tak ingin terpisahkan oleh daging dan darah pun akhirnya hanya menjadi tragedi yang mengharukan hati dan kaya akan permenungan hidup.

Itulah tragika anak manusia yang digeluti oleh novel Putri Cina ini. Sindhunata melukiskan, bagaimana anak manusia itu ingin mencintai bumi tempat ia berpijak. Tapi ternyata bumi tersebut tak mau menjadi tanah airnya yang aman, damai dan tentram. Ia yakin, dengan dilahirkan di dunia, semua manusia adalah saudara. Tapi mengapa manusia-manusia di bumi tempat ia berpijak itu tak mau menerima dirinya sepenuh-penuhnya?

Hal ini bisa kita lihat dalam nyanyian anak-anak Cina yang hidup di Tanah Jawa, sebagaimana dikutip Sindhunata sebagai ending novel ini: Di dunia ini semua manusia/menanggung nasib yang sama/karena kita semua adalah debu/Cina dan Jawa, sama-sama debunya/mengapa kita masih bertanya, siapakah kita?/Toh dengan dilahirkan di dunia, kita semua adalah bersaudara (hlm. 302).

Akhirnya, melalui novel ini, Sindhunata berhasil menerjuni tragika pergumulan identitas dalam pelbagai lika-likunya. Ia menggeluti tragika itu lewat pengetahuannya yang luas dan kaya tentang filsafat dan mitos, baik Jawa maupun Cina. Tragika itu juga ditelusurinya lewat babad dan sejarah. Lalu dijalinnya semua itu dalam sebuah sastra tentang putri Cina yang merupakan pergumulan eksistensial menyangkut identitas.

***
Moh Fahmi Amrulloh, pembaca sastra asal Jombang