19 Januari 2008

Persinggungan Mitos dan Sejarah


Judul Buku : Putri Cina
Penulis : Sindhunata
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama (GPU), Jakarta
Cetakan : I, September 2007
Tebal : 304 Halaman


Sastra adalah roh kebudayaan. Ia lahir dari proses kegelisahan sastrawan atas kondisi masyarakat dan terjadinya ketegangan atas kebudayaannya. Sastra sering juga ditempatkan sebagai potret sosial. Ia mengungkapkan kondisi masyarakat pada masa tertentu. Dari sanalah, sastra memberi pemahaman yang khas atas situasi sosial, kepercayaan, ideologi, dan harapan-harapan individu yang sesungguhnya merepresentasikan kebudayaan bangsanya.

Dalam konteks itulah, membaca sastra suatu bangsa pada hakikatnya tidak berbeda dengan usaha memahami kebudayaan bangsa yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, mempelajari kebudayaan suatu bangsa tidak akan lengkap jika keberadaan kesusastraan bangsa yang bersangkutan diabaikan. Begitu pula dalam novel Putri Cina karya terbaru Sindhunata ini, yang tidak hanya merepresentasikan kondisi sosial pada zaman tertentu, tetapi juga menyerupai pantulan perkembangan pemikiran dan kebudayaan masyarakatnya.

Semula, novel ini merupakan katalog berjudul Babad Putri Cina yang ditulis untuk mengiringi Pameran Lukisan Putri Cina, karya Hari Budiono, pada bulan Mei 2006, namun Sindhunata memperdalam dan mengembangkan lagi ide dan ceritanya. Selain itu, sebagaimana diakuinya dalam pengantar, untuk cerita mengenai Jaka Prabangkara dalam novel ini, Sindhunata menimba ilham dari buku Menyurat Yang Silam Menggurat Yang Menjelang karya Nancy K. Florida (2003).

Novel setebal 304 halaman ini mengambil sudut cerita perjalanan seorang putri Cina yang hidup di tanah Jawa. Di situ perpaduan antara kebudayaan Jawa dan Cina diuraikan dengan amat memikat. Persinggungan antara fakta dan fiksi tentang kaum peranakan dibuat sangat indah. Sindhunata berhasil memadukan pertalian cerita pewayangan yang amat dikenal di dalam kebudayaan Jawa dengan kebudayaan Cina yang sudah berkembang turun-temurun di tanah Jawa.

Tentu bukan kebetulan bahwa sang pengarang adalah seorang keturunan Cina kelahiran Malang, Jawa Timur, yang mengalami dan menggeluti kebudayaan Cina dalam praktek sehari-hari. Dan bukan kebetulan pula bahwa dalam perjalanannya, sang pengarang ternyata sangat akrab dengan kebudayaan Jawa, terutama cerita wayang.

Dalam novel yang sebagian ceritanya pernah dipentaskan ketoprak dalam lakon “Putri Cina”, yang naskahnya ditulis oleh Indra Tranggono ini, Sindhunata melancarkan kritik sekaligus sebuah refleksi bagi siapa saja, tak peduli Cina atau Jawa, namun sebenarnya pada setiap manusia, bahwa setiap upaya manusia untuk memiliki atau mengejar impian selalu diikuti dengan naluri untuk menjadi lupa diri. Yang dalam bahasa Jawa, melik nggendong lali: hasrat ingin memiliki selalu membuat orang lupa diri.

Secara garis besar, novel ini menggambarkan peralihan kekuasaan di tanah Jawa yang selalu berlumur darah dan pengkhianatan. Ketika raja tak mampu menghadapi beragam persoalan, akan selalu diperlukan kambing hitam. Identitas menjadi permainan politik. Di situ, memakukan identitas tunggal tak hanya berbahaya, tetapi juga kejam. Manusia terus mengulang sejarah itu dalam konteks politik yang berbeda-beda. Pemerkosaan terhadap perempuan etnis Cina juga terjadi waktu itu dan sejarah kontemporer mencatat pengambinghitaman etnis Cina sejak tahun 1740.

Karena itu, cerita dalam novel ini, yang hendak disuarakan Sindhunata, tak lebih sebagai sekadar alur besar, yang menjadi sampiran bagi bercabang-cabang kisah lainnya, yang jauh lebih penting. Misalnya, bahwa kisah mengenai perempuan sudah tentu disertai pembicaraan mengenai penderitaan dan pengorbanan. Apalagi kalau subjek kisah itu adalah perempuan Cina, yang sudah diketahui sejak berabad-abad lamanya telah banyak dikorbankan dan dikambinghitamkan.

Setidaknya, ada dua putri Cina dalam novel ini. Yang pertama adalah putri Cina yang diceraikan Prabu Brawijaya, ibu dari Raden Patah, penguasa baru Tanah Jawa yang kelak menggulingkan sang ayah. Dia membawa Tanah Jawa menapaki zaman baru, dan oleh para wali diminta menjadi jembatan antara Jawa Lama menuju Jawa Baru, antara agama lama menuju agama baru. Putri Cina lainnya adalah Giok Tien, pemain ketoprak Sekar Kastubo.

Hampir setengah bagian terakhir novel ini mengeksplorasi kisah Giok Tien, termasuk kisah cintanya dengan pemuda Jawa bernama Setyoko, suami, yang kelak menjadi Senapati Gurdo Paksi di Kerajaan Pedang Kemulan Baru. Sesungguhnya, kisah mereka tidak berhenti sampai di situ. Ketika Giok Tien dan Gurdo Paksi mati di depan kuburan Giok Hong dan Giok Hwa, berubahlah mereka berdua menjadi sepasang kupu-kupu, yang terbang dengan riang ke angkasa, menuju ke utara. Tak kelihatan lagi, mana yang Cina mana yang Jawa. Kupu-kupu itu bukan kupu-kupu Cina atau kupu-kupu Jawa. Kupu-kupu itu adalah kupu-kupu cinta yang mempersatukan mereka berdua, Cina dan Jawa.
Sindhunata berhasil meramu mitos dan sejarah bergulat menjadi kenyataan hidup. Misalnya, peran Eng Tay yang dilakonkan Giok Tien dalam ketoprak Sam Pek-Eng Tay adalah lakon hidupnya sendiri. Cinta yang mengikat, cinta pula yang memisahkan. Seperti kesia-siaan. Akan tetapi, adakah kesia-siaan ketika kita menyaksikan kupu-kupu cinta tak lagi memisahkan Jawa dan Cina, kupu-kupu kuning yang mati di utara, memanggil hujan yang menyegarkan dan menyuburkan tanah; kupu-kupu Putri Cina yang mengubah bunga-bunga kematian menjadi kehidupan dan menaburkan permata berupa buah-buah doa ke seluruh dunia?

Dengan cara bertuturnya yang khas, Sindhunata akan membawa pembacanya ke dalam sebuah alam, di mana mitos dan kenyataan historis sedemikian bersinggungan tanpa pernah terpisahkan. Di sini sejarah seakan hanyalah panggung, tempat tragika mitos mementaskan dirinya. Dengan amat menyentuh, novel ini berhasil melukiskan, bagaimana di panggung sejarah yang tragis itu cinta sepasang kekasih yang tak ingin terpisahkan oleh daging dan darah pun akhirnya hanya menjadi tragedi yang mengharukan hati dan kaya akan permenungan hidup.

Itulah tragika anak manusia yang digeluti oleh novel Putri Cina ini. Sindhunata melukiskan, bagaimana anak manusia itu ingin mencintai bumi tempat ia berpijak. Tapi ternyata bumi tersebut tak mau menjadi tanah airnya yang aman, damai dan tentram. Ia yakin, dengan dilahirkan di dunia, semua manusia adalah saudara. Tapi mengapa manusia-manusia di bumi tempat ia berpijak itu tak mau menerima dirinya sepenuh-penuhnya?

Hal ini bisa kita lihat dalam nyanyian anak-anak Cina yang hidup di Tanah Jawa, sebagaimana dikutip Sindhunata sebagai ending novel ini: Di dunia ini semua manusia/menanggung nasib yang sama/karena kita semua adalah debu/Cina dan Jawa, sama-sama debunya/mengapa kita masih bertanya, siapakah kita?/Toh dengan dilahirkan di dunia, kita semua adalah bersaudara (hlm. 302).

Akhirnya, melalui novel ini, Sindhunata berhasil menerjuni tragika pergumulan identitas dalam pelbagai lika-likunya. Ia menggeluti tragika itu lewat pengetahuannya yang luas dan kaya tentang filsafat dan mitos, baik Jawa maupun Cina. Tragika itu juga ditelusurinya lewat babad dan sejarah. Lalu dijalinnya semua itu dalam sebuah sastra tentang putri Cina yang merupakan pergumulan eksistensial menyangkut identitas.

***
Moh Fahmi Amrulloh, pembaca sastra asal Jombang

Tidak ada komentar: