25 Januari 2008

RUMBAI KISAH DARI AFGHANISTAN


Judul Buku : Saudagar Buku dari Kabul
Penulis : Åsne Seierstad
Penerjemah : Sofia Mansoor
Penerbit : Qanita, Bandung
Cetakan I : Januari, 2005
Tebal : 463 halaman

Afghanistan, sebuah negeri dengan ibukota bernama Kabul, ternyata menyimpan riwayat yang panjang. Pergesekan sosial, politik, dan kultur—sebagaimana pada negeri-negeri lain—seperti tak kenal lelah. Terlebih perburuan teroris di bawah komando Amerika Serikat pasca tragedi WTC silam menjadikan pamor negeri ini makin mencuat. Beberapa media cetak dan elektronik dari berbagai belahan dunia menyorotinya dengan reportase yang beragam.

Layaknya negeri-negeri yang terlibat perang, boleh dikata kesejahteraan rakyat Afghanistan sangat jauh dari iklim dan struktur kehidupan yang mapan. Kemiskinan, penjarahan, buta huruf, dsb., bercokol bak jamur di musim hujan. Namun, secara umum tidak ada kebencian suku di antara berbagai kelompok yang bertikai di Afghanistan. Konflik yang terjadi lebih disebabkan oleh perebutan kekuasaan. (hlm. 93)

Fenomena itulah yang menggoda minat penulis buku ini, Åsne Seierstad, untuk menuangkannya dalam format cerita. Dia hendak berbagi cerita kepada khalayak pembaca seantero dunia berdasarkan kisah nyata tentang pertikaian berdarah yang merenggut ratusan ribu bahkan jutaan nyawa manusia di sana. Dia juga memaparkan konflik batin masyarakat Afghanistan sejak rezim komunis berkuas hingga tumbangnya rezim Taliban yang kolot.

Bagi Åsne, petualangannya ke kota Kabul telah menyisakan beragam impresi mendalam di benaknya. Salah satunya dikarenakan dia bertemu dengan seorang pria kaya terkemuka yang berprofesi sebagai pedagang buku. Namanya Sultan Khan. Pria itu berumur separuh abad lebih, memiliki dua isteri serta dikaruniai lima anak. Sultan adalah salah satu dari sekian warga Kabul yang mempunyai minat besar melestarikan dan menjaga kebudayaan serta kesusastraan Afghanistan. Dalam bidang sastra, suami Sharifa dan Sonya ini sangat mengagumi karya-karya penyair besar seperti Jalaluddin Rumi atau Firdausi.

Dalam upayanya memajukan pendidikan di Afghanistan pasca jatuhnya rezim Taliban, Sultan berinisiatif mencetak buku pelajaran sekolah menggantikan buku yang telah ada. Menurutnya, buku yang dicetak oleh rezim komunis sampai rezim Taliban sudah tidak sesuai lagi. Dia mencontohkan ketika rezim komunis berkuasa, soal-soal pelajaran matematika ternyata melulu berkutat pada bagaimana membagi kepemilikan tanah menurut prinsip egaliter dan hanya akan memandu anak-anak menjadi generasi baru komunis. Begitu juga dengan buku yang dicetak oleh milisi Mujahidin dan Taliban. Perang pun dijadikan tema utama dalam buku matematika.

Di mata Åsne, Sultan adalah sosok yang memiliki karakteristik unik dan paradoks. Di satu sisi, dia adalah pria yang memiliki kemauan keras dalam membangun kerajaan bisnis bukunya, tegas, namun fleksibel. Dia berpikiran liberal dan tak segan menolak kaidah-kaidah yang dibuat oleh rezim Taliban sejak kejatuhan rezim itu. Menurutnya, sudah saatnya masyarakat Afghanistan tidak disuapi ideologi-ideologi agama yang konservatif. Bagaimana mungkin mengejar ketertinggalan jika hanya melulu berdo’a dan berdo’a, tanpa ada kerja keras menambah wawasan pengetahuan?

Di lain sisi, Sultan tak jauh beda dengan seorang diktator yang otoriter dan doktriner. Wataknya keras, sekeras tanah pegunungan Afghanistan yang tandus. Namun, sisi pribadinya yang kedua ini lebih banyak ditampilkan dalam lingkungan keluarganya sendiri. Misalnya, ketika dia melarang anak-anaknya bersekolah. Bukan karena warisan tradisi Taliban yang membuatnya demikian, melainkan di matanya yang lebih penting dan pasti menjamin kesejahteraan masa depan adalah materialisme. Mereka harus diajari kerja keras, tegas dan loyal kepada ayah mereka, Sultan Khan.

Watak diktator dan otoriter, dengan demikian mendekatkan seseorang pada sikap angkuh dan egois. Dan secara perlahan namun pasti telah mengusik harmonisasi ritme kehidupan. Kehidupan akan digiring kembali memasuki alam purba yang memberlakukan hukum rimba. Seperti itu juga lah yang terjadi dengan kehidupan Sultan Khan. Tak ada yang lebih ampuh dari titah sang ayah kepada anak-anaknya. Sang suami kepada isterinya.

Egosentrisme yang dibangun Sultan paling tidak telah menimbulkan konflik horisontal antaranggota keluarga. Buntutnya, ibu serta saudara-saudara Sultan lebih memilih pergi mencari tempat tinggal baru mencari kebebasan yang sesuai dengan selera masing-masing. Salah seorang putranya yang mewarisi watak keras Sultan adalah Mansur. Pemuda ini sering tampil manis di depan ibu kandungnya, Sharifa, tatkala ayahnya ada di rumah. Namun, ketika ayahnya sedang bepergian, dia tak segan membentak Sharifa.

Kisah-kisah dalam buku ini memang terkesan bertumpang tindih. Namun kita dapat mengatakan bahwa Åsne telah berhasil melakukan dua hal sekaligus. Pertama, Åsne telah memanfaatkan seefektif dan seefisien mungkin media buku sebagai kanvas yang menampilkan warna berdesak-desak. Kedua, ternyata petualangan Åsne ke negeri Afghanistan memang tidak sekadar untuk memotret kehidupan keluarga Sultan Khan. Betapa tidak, dia juga "kepincut" dengan denyut kehidupan serta realitas sosial di Afghanistan—khususnya di kota Kabul—yang tak kalah menariknya dengan keluarga saudagar itu. Fenomena-fenomena sosial itu tentu sudah lama terkonstruk dan membiakkan relasi-relasi resiprokal.

Demikianlah, kehadiran buku ini memang layak disambut hangat oleh siapa pun yang berminat mengetahui lebih dekat kondisi serta psikologi sosial, politik, dan kultur Afghanistan secara akrab. Kepiawaian Åsne membangun narasi serta deskripsi agaknya menjadi salah satu faktor kunci yang meniscayakan karya ini enak dibaca. Pembaca dipersilahkan berdecak kagum sambil menggeleng-gelengkan kepala; atau sekadar manggut-manggut saja; atau bahkan ingin menggebrak bangku karena merasa dikecewakan. Apa dan siapa yang telah mengecewakan? Pokoknya, simak saja rumbai kisah dari Afghanistan ini !

Tidak ada komentar: