25 Januari 2008

JEJAK ORANG PRANCIS DI INDONESIA


Judul: Orang Indonesia & Orang Prancis Abad XVI sampai dengan Abad XX
Judul Asli: Les Français et I'Indonésie du XVIe au Xxe siécle
Penulis: Bernard Dorléans
Penerjemah: Parakitri T. Simbolon dan Tim
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta
Cetakan: I, Desember 2006
Tebal: xlii + 644 Halaman

Jika bicara sejarah, hal itu adalah bukti-bukti yang tertinggal dan masih ada. Sejarah adalah sebuah peninggalan, bisa berupa tulisan, naskah, atau artefak yang bisa dibuktikan kebenarannya secara ilmiah. Tanpa itu, ia hanya dongengan atau mitos adanya, ia hanya cerita fiktif yang tidak bisa dijadikan pijakan bahwa sesuatu dikatakan sebagai kisah sejarah.

Sampai sejauh ini, ada banyak pendekatan dalam melihat fenomena kisah kehidupan manusia. Homeros dan Hesiodos (700 SM) dikenal sebagai penutur bangsa Yunani, yang memaparkan kisah-kisah para dewa, cerita mitologi. Kisah yang bisa jadi hanya dongeng belaka dan tidak pernah terjadi. Sedangkan Herodotus (465-395 SM) dan Thukydides (465-393 SM), dikenal sebagai bapak sejarah modern. Kendati mereka menuturkan kisah yang benar-benar terjadi, mereka tetap saja tak bisa lepas dari motif sejarah mitologis, yakni motif mengenangkan dan mengagungkan. Mereka menuliskan kelebihan manusia, kebesaran raja-raja, para bangsawan dan pahlawan perang.

Secara umum, motif mitologis akan terasa kuat pada sumber tulisan sejarah lokal, yang bercerita tentang pelayaran orang-orang Eropa ke Nusantara. Yang terkenal di antaranya Suma Oriental yang ditulis pelayar asal Portugis, Tome Pires, pada 1512-1515 di Malaka. Namun, pendekatan ini diejek oleh Van Leur sebagai sejarah yang dilihat dari "dek kapal dan jendela loji". Pendekatan neerlando-sentris meskipun dapat dipertanggung-jawabkan dengan metode yang kritis dan rasional, praktis menempatkan pribumi dalam kedudukan marginal atau sebagai latar belakang dari pentas sejarah tempat kaum kolonialis beraksi.

Tapi, akan sangat berbeda dengan pendekatan yang dilakukan oleh Bernard Dorléans melalui buku berjudul asli Les Français et I'Indonésie du XVIe au Xxe siécle ini. Sebagian kisah dalam buku ini merupakan hasil telaah ilmiah sumber-sumber primer yang juga pernah terbit di majalah Archipel Prancis. Dorléans adalah sejarawan dari Universitas Sorbonne, Prancis, yang sejak 1986, tinggal di Indonesia dan menikah dengan seorang putri Jawa.

Sebanyak 298 gambar dan foto yang menyertai catatan-catatan perjalanan dalam buku ini setebal 644 halaman ini tidak saja menarik, tetapi juga membuat peristiwanya makin terasa hidup. Di samping itu, buku ini juga memaparkan kesaksian yang dituturkan oleh orang-orang Indonesia yang pernah tinggal di Prancis.

Meskipun para pencerita yang disusun Dorléans dalam buku ini adalah orang-orang Prancis yang bertindak di luar perlindungan atau tanpa disponsori penguasa di negerinya; berbeda dengan orang-orang Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda yang kemudian tidak saja menguasai perdagangan, tetapi juga menjadi penjajah di wilayah Hindia Barat dan Hindia Timur. Namun kesan marginal terhadap pribumi tetap saja muncul.

Ini bisa kita lihat dari catatan pelayaran Verrazane dan Pierre Caunay dari Honfleur ke Sumatera (1526-1529) yang menyiratkan bahwa betapa buruknya imaji orang "Barat" terhadap orang "Timur". Dalam catatannya, orang Prancis itu menulis, "Sikap orang Melayu berubah-ubah, penjilat, pengolok-olok, dan merupakan pedagang yang lebih menyebalkan daripada orang-orang Skotlandia" (hlm. 9).

Catatan perjalanan selanjutnya juga menggambarkan budaya Indonesia dahulu. Kerajaan Aceh, misalnya, diceritakan mempunyai sistem hukum yang unik, seperti memotong tangan bagi para pencuri. Cerita lain yang terbilang asyik adalah catatan mengenai orang Makassar. Temperamen kasar dan cenderung brutal juga diperlihatkan. Kisah orang Makassar lain yang menarik mungkin mengenai kisah pengembaraan dua pangeran Makassar di Prancis, pada masa kekuasaan Louis XIV dan Louis XV, yaitu Daeng Ruru dan Daeng Tulolo.

Kemudian pulau-pulau di bagian Jawa menjadi titik tolak berikutnya. Tercatat pula perjalanan ke Timor yang unik, mulai dari perjalanan Francois Peron dan Charles Lesueur pada catatan perjalanan berjudul "Berburu Buaya di Timor" (1803-1804). Dan Louis-Isidore Duperrey meneruskan eksplorasi ke Papua antara tahun 1822-1825. Catatan perjalanan Duperrey ini menjadi rekor tersendiri, karena inilah pertama kalinya pelayaran ilmiah yang dilakukan Prancis beserta semua awak kapalnya dapat kembali ke Prancis dalam keadaan selamat.

Kisah pelukis Basuki Abdullah dan Raden Saleh juga tercatat dalam buku ini. Raden Saleh tercatat pernah disambut oleh Raja Prancis, Louis-Phillippe d’Orleans di Paris. Raden Saleh sempat tinggal di Prancis selama beberapa tahun, dan memberikan satu lukisan berjudul "Berburu Kijang di Pulau Jawa" kepada sang raja.

Pada bagian "Gamelan Jawa dan Pengaruhnya pada Musik Claude Debussy", dikisahkan bahwa Claude Debussy, pemusik klasik tenar Prancis kala itu, justru merasa rendah diri, usai mendengar lantunan gending Jawa. Dalam catatannya Debussy menulis, "Jika Anda mendengar alunan gending Jawa dengan telinga Eropa yang normal, Anda harus mengakui bahwa musik kita tak lebih daripada sekadar bunyi-bunyi dasar sirkus keliling" (hlm. 521).

Secara umum, selain kisah tentang Herman Willem Daendels, dalam buku ini tercatat juga deskripsi mengenai Batavia "Tempoe Doeloe", catatan kenangan tentang Bali, dan perjalanan imajiner sastrawan Prancis, Honoré de Balzac, dari Paris ke Jawa pada 1832. Bahkan kisah perjalanan Arthur Rimbaud, sastrawan ternama Prancis, yang pernah datang ke pulau Jawa sebagai anggota tentara Belanda pada 1876 juga dihadirkan. Dan buku ini ditutup dengan artikel "Kesaksian Akhir Prancis pada Akhir Penjajahan selama Empat Abad" yang melukiskan hilangnya surga Kafka di bumi Nusantara.

Namun, perlu juga dicatat peringatan Adrian B. Lappian dalam pengantar buku ini agar kita tidak lantas beranggapan bahwa kita sudah memperoleh gambaran yang lengkap mengenai berbagai situasi yang dikemukakan dalam kisah-kisah yang ditulis oleh orang-orang Prancis di bumi Nusantara itu. Tentu saja masih banyak hal yang lolos dari perhatian mereka: "Bahkan ada pula yang mungkin keliru karena ketidaktahuan mengenai keadaan dan kebiasaan tempat yang dikunjungi. Belum lagi unsur-unsur prasangka dan persepsi etnosentris yang cenderung masuk dalam teks catatan perjalanan tersebut" (hlm. xviii).

Akhirnya, catatan perjalanan yang terkumpul dalam buku ini memberi gambaran lain daripada yang kita kenal dalam historiografi Indonesia sebelumnya. Dorléans tidak hanya memaparkan sejarah secara deskriptif-naratif, tapi juga mencakup bentuk-bentuk generalisasi, pola kehidupan sosial dan kultural, dengan memberi makna terhadap fakta-fakta. Bagi kita, bangsa yang konon dilanda amnesia sejarah, buku seperti ini bisa membantu guna merumuskan kembali format keindonesiaan yang aktual.

Tidak ada komentar: