25 Januari 2008

LEBIH DEKAT BERSAMA GUS MUS


Judul Buku : Ngetan-Ngulon Ketemu Gus Mus
Penulis : Abu Asma Anshari, Abdullah Zaim, Naibul Umam ES
Penerbit : HMT Foundation, Semarang
Cetakan : Pertama, 2005
Tebal : 347 halaman

Ada yang menarik ketika membaca judul buku ini; Ngetan-Ngulon Ketemu Gus Mus. Kata 'Ngetan' yang memiliki oposisi biner 'Ngulon' (keduanya diambil dari bahasa Jawa) dalam bahasa Indonesia berarti 'Ke Barat' dan 'Ke Timur', seperti sengaja menyinggung dua kutub berbeda. Pemilihan dua kata tersebut sebagai judul buku ini bagi saya memang tepat untuk merepresentasikan obyek yang diangkat di dalamnya; Gus Mus sebagai sosok unik yang kadangkala melangkah 'berlawanan' dengan mainstream.

Di kalangan pesantren, nama K.H.A. Mustofa Bisri—pengasuh pondok pesantren Roudlotut Tholibin, Leteh, Rembang yang akrab disapa Gus Mus—ini memang bukan nama yang asing. Bahkan menjadi hal yang aneh jika kiai yang satu ini kurang begitu dikenal oleh para kiai dan santri, khususnya mereka yang berasal dari kaum nahdhiyyin. Kesederhanaan pribadinya, bersahaja, supel, humoris, sekaligus cuek seolah mendarah daging dalam tubuhnya. Sikap tersebut menjadi ciri khas yang cukup kental serta tampak kontras dengan lazimnya sebagian kiai yang memiliki kecenderungan aristokrat dan elitis.

Ditilik dari latar belakang keluarga, sosial, hingga pendidikan yang pernah ditempuh baik di dalam dan luar negeri, tampaknya karakter Gus Mus yang unik tersebut memang sudah terbangun sejak kecil. Dalam lingkungan keluarganya, bisa dibilang ia adalah Gus (sebutan yang lazim bagi putera kiai dan memiliki implikasi status sosial) yang paling "nyleneh" dibanding para saudaranya. Namun, tidak jauh berbeda dengan mereka, Gus Mus kecil juga mendapat prioritas pendidikan agama yang cukup istimewa, selain diimbangi dengan pendidikan umum. Ayah Gus Mus, K.H. Bisri Mustofa, adalah salah satu kiai besar dan berpengaruh baik dalam organisasi masyarakat (NU), sampai pada wilayah sosial dan politik.

Melalui buku ini kita akan diajak memahami lebih dekat sosok Gus Mus yang tidak saja dikenal sebagai tokoh agama atau masyarakat. Namun memahami Gus Mus yang banyak dikultuskan terutama oleh sebagian besar warga NU sebagai sosok 'yang lain' jelas akan menemukan pergeseran ketika pribadinya dibicarakan pada wilayah berbeda seperti seni, budaya, dan politik.

Sebagai seorang seniman, sastrawan, sekaligus budayawan, Gus Mus—yang menurut Sutardji Calzoum Bachri mengingatkannya pada sosok Hamzah Fanshuri—cukup kritis dan berani meski hal itu ditujukan untuk kalangannya sendiri, kalangan NU dan pesantren. Menariknya, dalam menyampaikan kritik baik lewat esei, puisi, cerpen, maupun lukisan, Gus Mus pandai membungkus kritik itu dengan bahasa yang lugas bahkan tak jarang di selingi humor. Hal inilah yang membuatnya cukup disegani dan diperhitungkan oleh banyak kalangan, dari rakyat sampai pejabat.

Ketika rezim orde baru yang diktator dan otoriter merepresi segala sektor, termasuk dalam soal seni dan budaya, dengan lantang Gus Mus berani tampil menyuarakan kebusukan pemerintah terutama lewat puisi. Di saat bangsa ini memasuki era reformasi, Gus Mus masih juga konsisten dalam berbagai aktifitas kreatif yang ditandai dengan lahirnya sebuah lukisan kontroversial berjudul "Berdzikir Bersama Inul."

Dua sisi berbeda (ulama dan seniman) yang ada dalam diri Gus Mus tersebut menjadi modal utama keikutsertaannya menciptakan iklim perubahan tanpa harus menjustifikasi salah satu pihak, tak ketinggalan lembaga pesantren yang menjadi kendaraannya. Selama ini pesantren memang dikenal loyal pada suatu mainstream tertentu hingga lembaga pendidikan tradisional ini terkesan kurang memberi tempat bagi proses kreatif para santrinya, termasuk penciptaan karya seni dan sastra. Kalau pun ada, biasanya pesantren hanya akan mewadahi proses berkesenian yang berkaitan dengan tradisi mereka dan beraroma Arabisme. Padahal ini justru akan memperkuat stigma bahwa kaum santri memang orang-orang yang sengaja memilih jalan hidup konservatif.

Di tangan Gus Mus stigma tersebut dirubahnya dengan cara-cara inklusif, egaliter, dan universal. Ia berhasil menjaga netralitas serta memberi porsi sewajarnya pada lembaga pesantren di satu sisi, dan kebebasan berekspresi pada sisi yang lain. Dalam pandangan Gus Mus, untuk memajukan syiar agama tak perlu melalui cara-cara yang keras dan hanya akan menakuti-nakuti orang lain. Dalam hal ini Gus Mus mencoba menerapkan pesan al-Qur'an bahwa untuk mengajak seseorang kembali ke jalan Tuhan hendaknya digunakan cara yang bijaksana atau dengan bertutur kata yang menyejukkan kalbu.

Hampir tak ada bedanya kiprah Gus Mus dalam bidang keagamaan dan seni budaya, di wilayah politik namanya juga sering diperhitungkan baik di tingkat lokal maupun nasional. Karir politiknya diawali ketika ia mulai dilibatkan dalam berbagai diskusi para politisi PPP. Meski pada akhirnya kursi DPRD sampai MPR sudah pernah didudukinya, tampak Gus Mus bukan tipe pribadi yang gila nama, kuasa, dan harta. Hal ini terbukti dengan pengunduran dirinya dari kursi DPRD Jateng pada 1992.

Tumbangnya orde baru yang ditandai dengan lengsernya Soeharto memang menawarkan iklim yang sama sekali baru. Puluhan parpol muncul bak jamur di musim hujan, tak terkecuali kelahiran PKB yang dibidani para tokoh NU. Namun berbeda dengan para politisi yang terjebak euforisme, Gus Mus justru tidak tertarik sama sekali terjun ke dunia politik. Hal ini bukan berarti ia tak peduli soal politik, justru di sela kesibukannya mengasuh pesantren Roudlotut Tholibin Gus Mus sering dimintai petuahnya.

Pada akhirnya, kita memang sepakat dengan apa yang dikatakan Utomo Dananjaya bahwa Gus Mus adalah sosok yang unik sekaligus 'multifungsi'. Ia adalah kiai, seniman, dan pejuang demokrasi yang bisa disejajarkan dengan Gus Dur yang menjadi kawan akrabnya sejak sama-sama kuliah di Mesir. Hanya saja kedua sosok ini menempuh perjuangannya dengan jalan yang berbeda.

2 komentar:

tarian pangeran sufi mengatakan...

BAGI SAYA GUSMUS ADALAH GURU, LEWAT CERPENNYA SAYA MERASA ADA SESUATU YANG MENCERAHKAN. SEMOGA DENGAN INI SAYA BISA MENYAMPAIKAN SALAM PADA GURU SAYA; "SAYA SUNGGUH INGIN BERTEMU DENGAN SANG GURU" DAN SEMOGA SANG GURU BISA MENYEBUT NAMA SAYA SETELAH PESAN INI DISAMPAIKAN, DAN NAMA SAYA:AUFAL ar-RUMMY.

Centhini mengatakan...

dimanakah saya bisa mendapatkan bukunya?