25 Januari 2008

SKETSA BURAM PEREMPUAN PINGGIRAN


Judul : Somewhere Home
Penulis : Nada Awar Jarrar
Penerjemah : Catherine Natalia
Penerbit : Qanita, Bandung
Cetakan I : Januari 2007
Tebal : 284 halaman

Potret diskriminasi terhadap hak-hak perempuan memang telah banyak diangkat dalam berbagai bentuk media, tak terkecuali dalam karya sastra. Sastra menawarkan ruang sunyi untuk merefleksikan segala peristiwa dalam hidup manusia. Sastra juga kerap dijadikan media yang ampuh untuk melawan segala bentuk ketimpangan karena salah kaprahnya sistem yang berlaku di tengah masyarakat.

Di negara-negara berkembang, hak-hak perempuan di wilayah-wilayah strategis memang belum sepenuhnya mendapat perhatian. Secara tak langsung ini menandakan hadirnya imperialisme gender yang sama-sama sadis. Jika kita menyimak histori bangsa Arab jahiliyah, kehadiran anak perempuan dianggap sebagai aib bagi sebuah keluarga. Tak jarang ada yang beranggapan bahwa kehadiran perempuan merupakan alamat buruk.

Pada wilayah perlawanan semacam ini sastra biasanya akan bermain dengan sangat garang, meledak-ledak, serta penuh peristiwa-peristiwa monumental. Kita mengenal Nawal el Sadawi, sastrawati asal Mesir yang begitu meledak-ledak dalam setiap karyanya. Namun berbeda dengan karya yang satu ini, para penikmat sastra akan diajak menyimak perlawanan para perempuan Lebanon yang berjuang mendapatkan hak-haknya sebagai seorang perempuan di tengah-tengah masyarakat, sebagai istri bagi suami, maupun sebagai ibu dari anak-anak mereka. Novelis berdarah Lebanon-Australia, Nada Awar Jarrar, menggunakan setting Lebanon saat pecah perang saudara dalam novel ini. Perang memang selalu menyisakan persoalan kemanusiaan yang rumit serta memiliki dampak luas.

Secara teknis, novel ini dituturkan dengan teknik bercerita yang unik. Jarrar yang pernah mendapat penghargaan Shortlisted For The Common Wealth Writers Prze 2004 atas karya ini terlihat lebih halus dalam menyampaikan pemberontakannya dibanding Nawal. Namun, pembaca akan mengalami kesulitan pada alur yang melompat, seolah bisa ditebak bahwa pengarang mencoba mengabaikan penggunaan alur yang runtut. Pembaca dibebaskan menangkap ide tersirat dalam setiap paragraf.

Novel berjudul Somewhere Home ini dituturkan dalam tiga bagian. Pada bagian pertama, pengarang yang menetap di Lebanon ini mendeskripsikan satu persatu persoalan empat tokohnya; Maysa, Alia, Saeeda, dan Leila. Teknik penceritaan berbingkai dalam novel ini sangat terasa sekali ketika Maysa tak hanya menceritakan orang-orang selain dirinya, tapi ia juga menceritakan dirinya dari sudut “orang lain.”

Maysa yang menjadi narator dalam novel ini adalah cucu Alia. Ia menetap di pusat Kota Beirut. Namun perang saudara yang pecah mengusirnya pindah ke lereng gunung Lebanon. Maysa menikah dengan Wadih dan dikaruniai seorang anak perempuan, Yasmeen. Saat anaknya beranjak dewasa, Maysa ditimpa kesedihan mendalam karena putri satu-satunya tinggal bersama sang bapak di sebuah apartemen di Kota Beirut. Kesepian yang dirasakan Maysa memercikkan perlawanan dalam bentuk lain. Maysa melarikan diri pada ritual-ritual agama. Di lain sisi, tindakan Maysa ini merupakan kritik yang menarik. Di saat manusia menuai keterpurukan, mereka akan berbalik merengek pada Tuhan.

Berbeda dengan Maysa, Alia yang dinikahi Ameen hidup pada masa tradisi masih menjadi mainstream yang tak bisa diganggu gugat. Bahkan pernikahan mereka telah didesain tanpa ada pertemuan sebelumnya. Pada masa selanjutnya, sebagai ibu dari lima anak yang ditinggal suaminya merantau ke Afrika, Alia merasakan beratnya beban sebagai single parent. Ia dituntut untuk mengasuh anak-anaknya dengan naluri kelembutan seorang ibu, di sisi lain Alia juga harus berperan sebagai “ayah” yang mengajarkan kemandirian pada anak-anaknya.

Dalam wilayah budaya, Jarrar memotret perbedaan pola hidup penduduk pedesaan yang mendiami lereng gunung Lebanon dengan penduduk perkotaan. Jarrar juga menampilkan benturan yang terjadi dalam pertemuan dua kultur; Barat dan Timur. Ia mengilustrasikan hal itu dalam tokoh Leila dan Adel. Keduanya yang mahir bercakap-cakap menggunakan bahasa Prancis menjadi “tontonan yang aneh” di mata orang sesepuh Alia.

Pesan lain yang bisa dicerna dalam novel ini adalah perihal perbedaan kesenjangan status sosial. Jarrar menggambarkan bagaimana kehidupan anak-anak (Sara, Aida, dan Dina) bertemu dengan Amou Mohammed, paman mereka yang hidup di kamp pengungsian bersama anak dan isterinya. Amou Mohammed adalah salah satu dari pengungsi Palestina. Perang, sekali lagi, telah mencuatkan dampak yang tidak kecil. Kesenjangan status sosial bukan tidak mungkin menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja.

Secara khusus, novel ini berhasil membangun kritik atas marjinalisasi kaum perempuan bukan dengan cara berteriak-teriak, melainkan disajikan dengan style berbeda. Jarrar tampak begitu tekun menggali tradisi lokal. Meski ia memotret Lebanon sebagai setting, persoalan seperti ini sesungguhnya merupakan persoalan global. Jarrar mengisahkan para perempuan yang terpinggirkan oleh konservatifitas tradisi lokal, modernitas, serta tokoh-tokoh yang tersiksa oleh janji-janji dan romantisisme.

Dalam ungkapan yang lebih lugas, Jarrar mengajak kita untuk melihat perempuan tidak sekadar sebagai obyek dalam segala aspek kehidupan. Perempuan mesti diberi ruang gerak sejauh mereka sanggup mempertanggung jawabkan segala keputusan yang dibuat, sebagaimana juga kaum laki-laki. Di luar itu, terjemahan yang apik menjadikan novel ini kaya dengan ungkapan-ungkapan baru.

1 komentar:

just Endang mengatakan...

Perempuan..........aku tertarik bacanya. Entah kenapa, sejak belajar menulis ( ngeblog ), kok saya jadi mengarah kesini. padahal dulu apa yg terjadi pada perempuan tak anggap biasa....